Dua puluh tujuh tahun yang lalu, suasana Jakarta mencekam. Kekecewaan dan kemarahan yang tersimpan bertahun-tahun di benak setiap orang, akhirnya meledak di sepanjang jalan. Peristiwa Mei 1998 menjadi puncak atas ketidakpuasan rezim Orde Baru.
Peristiwa Mei 1998 adalah luka yang belum sepenuhnya sembuh, tapi juga menjadi titik tolak lahirnya babak baru bangsa Indonesia. Di jalan-jalan Jakarta yang memanas, di kampus-kampus yang bergolak, dan di rumah-rumah yang terbakar diam-diam oleh ketakutan dan amarah, patahan sejarah mulai bergetar. Mahasiswa turun ke jalan bukan sekadar menuntut turunnya seorang pemimpin, tapi juga menagih masa depan yang lebih adil dan terbuka.

Krisis moneter yang menghantam Asia Tenggara menjelma jadi badai yang mengguncang seluruh sendi kehidupan di Indonesia. Kompas mencatat bahwa pada krisis moneter 1998 nilai tukar rupiah anjlok 690 persen atau hampir tujuh kali lipat dari Juni 1997 yang masih dalam kisaran Rp 2.441 per dollar AS.
Harga melambung, pekerjaan menghilang, dan rakyat yang selama ini disuruh diam akhirnya bersuara. Mereka menantang kekuasaan yang terlalu lama bercokol dan terlalu nyaman dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tragedi Trisakti menjadi puncaknya, ketika Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie menjadi korban dalam aksi damai di jalan raya. Amarah meledak ke sudut-sudut kota.

Kerusuhan menjalar, meninggalkan jejak kehancuran dan trauma kolektif. Penjarahan, pembakaran, hingga kekerasan terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa membuka tabir gelap yang selama ini ditutup rapat. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa.
Majalah fotografi terbitan Jakarta, Fotomedia, pernah menerbitkan artikel foto edisi khusus dari Peristiwa Mei 1998 seperti aksi penjarahan dan kerusuhan. Momen tersebut diabadikan oleh beberapa fotografer yang turun langsung ke jalan untuk menjadi saksi berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun.
“Berbagai peristiwa kekerasan seolah tak hendak beranjak dari negeri ini. Tertembaknya mahasiswa, tewasnya anggota Pam Swakarsa oleh amukan masa, pembantaian ‘dukun santet’, perampokan dalam taksi, penjarahan di tempat perbelanjaan, seakan menu yang harus dikunyah di hari-hari belakangan ini.” – Fotomedia edisi Desember 1998




Timelapse merupakan rubrik khusus yang diinisiasi Jurnal 56 sebagai kanal republikasi artikel tentang fotografi dan peristiwa bersejarah yang pernah diterbitkan di media atau publikasi lainnya.
Editor: Jurnal 56
Foto sampul: Fotomedia/Alphons Mardjono