“Melting Memories”: Ketika Ingatan Melebur dalam Simfoni Digital

Dipamerkan dari 7 Februari hingga 10 Maret 2018 di Pilevneli Gallery, Istanbul proyek terbaru Refik Anadol, Melting Memories (2018) mengeksplorasi hubungan antara manusia dan proses mengingat melalui teknologi canggih dan potensi tak terbatas dari otak. Di era di mana koneksi dengan masa lalu semakin mudah, karya ini menawarkan pendekatan baru terhadap representasi memori dalam seni kontemporer. Karya ini lahir dari dorongan pribadi, Anadol terinspirasi oleh diagnosis Alzheimer1 yang diderita oleh pamannya. Pengalaman ini membawanya untuk merenungkan kerapuhan ingatan manusia dan cara teknologi dapat membantu memahami serta memvisualisasikan proses mengingat.

Sebagai seniman yang mendasarkan karyanya pada transformasi data menjadi material visual, Anadol dalam situs resminya di refikanadol.com menjelaskan bahwa Melting Memories mengungkap materialitas otak dengan menyaring data paling intim dari individu, yakni: ingatan dan proses mengingat kembali. Data ini diambil dari gelombang otak EEG (Elektroensefalografi)2 yang dikumpulkan melalui eksperimen neurosains di Neuroscape Laboratory, University of California, San Francisco lalu diproses menggunakan algoritma kecerdasan buatan. Algoritma ini tidak berfokus pada isi ingatan itu sendiri, melainkan pola aktivitas otak yang terjadi selama proses mengingat.

Karya ini merupakan bagian dari seri edisi digital yang berkelanjutan dalam data sculpture series milik Anadol dengan judul yang sama. Dalam karya ini, ia menangkap dan menginterpretasikan gerakan motorik dalam otak manusia dan menciptakan bentuk visual yang menyerupai lanskap abstrak yang terus berubah. Gerakan yang ditampilkan dalam instalasi ini terasa seperti visualisasi dari sebuah film fiksi ilmiah dengan ritme gerakan yang menghipnotis dan menciptakan suasana yang futuristik. 

Dok. refikanadolstudio.com

Dalam situs resmi tersebut juga menjelaskan bahwa karya ini terdiri dari dinding media LED berukuran 16 x 20 kaki (sekitar 5,1 x 6 m2) yang menampilkan lukisan data (data paintings), patung data (augmented data sculptures), dan proyeksi cahaya. Visual yang muncul menyerupai cairan logam, lanskap yang terus berubah dan  bergerak secara hipnotis dengan palet warna perak, hitam, biru, dan putih. Bingkai putih di bagian pinggir layar LED merupakan detail yang menarik dalam instalasi ini. Bingkai tersebut terkadang terlihat jelas, namun di waktu lain tampak melebur dengan subjek di dalamnya. Ini menciptakan efek seolah ombak visual di dalam instalasi yang menabrak batas bingkai dan melampauinya.

Komposisi Audio: Musik sebagai Pendamping Visual

Meski situs resmi Anadol tidak menyebutkan elemen suara, ulasan pengunjung pameran pada situs dokumag.wixsite dan unggahan video di kanal YouTube menunjukkan bahwa karya ini mencakup elemen suara. Elemen suara dalam Melting Memories tidak kalah penting dalam membangun pengalaman imersif bagi pengunjung. Musik yang digunakan memiliki nada lembut dan menenangkan, mirip dengan suara dengungan elektronik yang perlahan berubah dan mengalir. Musik ini dibuat dengan melodi sederhana, tetapi kaya akan lapisan suara yang memberikan efek menenangkan dan mendalam.

Refik Anadol terinspirasi dari musik dalam film Blade Runner 2049 (Denis Villeneuve, 2017) yang memiliki suara khas bernuansa futuristik dan elektronik. Musik dalam film ini, yang digarap oleh Hans Zimmer3 dan Benjamin Wallfisch4, memadukan suara synthesizer5, gema mendalam, dan harmoni yang memberikan kesan misterius serta futuristik. Anadol menerapkan pendekatan serupa dalam Melting Memories dengan menciptakan lapisan suara elektronik yang berdetak perlahan dan menyerupai aktivitas otak manusia.

Musik dalam instalasi ini memiliki melodi sederhana, namun penuh lapisan suara, mirip dengan getaran halus bernada rendah yang perlahan berubah dan berkembang. Suara ini menciptakan pengalaman terhipnotis, seolah-olah pengunjung sedang memasuki ruang antara kesadaran dan mimpi, antara realitas dan dunia digital. Ritme yang perlahan berubah mengikuti gerakan visual dalam karya ini, menciptakan efek yang sinkron dengan gelombang dan pusaran ingatan yang divisualisasikan di layar LED. Dentuman bass halus yang dalam dan sesekali muncul frekuensi tinggi yang menyerupai sinyal elektronik semakin memperkuat suasana misterius dan meditatif, mengajak pengunjung untuk merenungkan cara memori terbentuk dan berubah seiring waktu.

Struktur Ingatan: Engram dalam Melting Memories

Engram dalam ilmu saraf adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada jejak fisik atau pola perubahan yang terjadi dalam otak saat suatu memori disimpan. Engram dapat dipahami sebagai “pola cetak” dari suatu pengalaman dalam jaringan saraf. Dalam Melting Memories, Refik Anadol menuliskan bahwa ia menghadirkan empat jenis engram yang divisualisasikan melalui bentuk dan gerakan unik. Masing-masing menggambarkan tahap berbeda dalam proses mengingat, yakni: Engram Synthetic Memory, Engram Remember, Engram Been There, dan Engram Recall.

1. Engram Synthetic Memory
Dok. refikanadolstudio.com

Bagian ini menghadirkan memori buatan, atas interpretasi tentang cara kecerdasan buatan dapat menyusun dan mengolah ingatan seperti manusia. Visualnya didominasi gelombang-gelombang abstrak yang bergerak lambat, menyerupai aliran tinta dalam air atau asap yang bergulung-gulung dalam ruang hampa. Warna utama yang digunakan adalah perak dan abu-abu dengan semburat biru gelap, menciptakan efek futuristik yang mencerminkan sintesis antara otak manusia dan mesin.

2. Engram Remember
Dok. refikanadolstudio.com

Bagian ini menggambarkan proses otak dalam memanggil kembali suatu memori di mana aktivitas saraf diubah menjadi pola visual dinamis. Tampilan visualnya menyerupai pola riak air yang menyebar perlahan, tetapi kemudian menghilang dan kembali membentuk pola baru. Warna dominan adalah hitam pekat dengan kilauan putih dan emas memberikan kesan dramatis dan misterius seolah-olah memori muncul dari kegelapan pikiran.

3. Engram Been There
Dok. refikanadolstudio.com

Bagian ini menggambarkan perasaan deja vu atau pengalaman yang sudah pernah dialami sebelumnya. Visualnya berbentuk struktur geometris yang terus berubah, menyerupai peta topografi yang bergerak dan beradaptasi, menciptakan efek seakan-akan ruang dan waktu terlipat. Warna dominannya adalah abu-abu metalik dan putih keperakan, yang memberi kesan modern dan mekanis, mencerminkan cara otak menghubungkan ingatan masa lalu dengan pengalaman saat ini.

4. Engram Recall
Dok. refikanadolstudio.com

Bagian terakhir ini berfokus pada proses mengingat secara aktif, di mana suatu ingatan dapat muncul kembali ke kesadaran. Visualnya bergerak dengan pola lebih cepat dibandingkan bagian lainnya, menyerupai tarikan pusaran air yang terus berubah bentuk. Warna yang digunakan adalah kombinasi abu-abu, perak terang, dan putih menciptakan efek dinamis yang menggambarkan cara ingatan bisa muncul dengan tiba-tiba, berkembang, dan akhirnya menghilang kembali.

Analisis Formal: Ingatan yang Bergerak

Dalam Melting Memories, garis tidak hadir secara eksplisit, melainkan muncul dalam bentuk pola aliran data yang menyerupai riak, pusaran, atau goresan abstrak. Pola ini berfluktuasi secara dinamis, mencerminkan cara aktivitas otak dan memori terus berubah seiring waktu. Bentuk yang digunakan dalam instalasi ini bersifat non-representasional, menyerupai cairan, asap, atau lanskap digital. Meskipun berbasis dua dimensi dalam format digital, karya ini menciptakan ilusi kedalaman dan gerakan yang membuatnya tampak hampir tiga dimensi. Ruang negatif dalam bentuk latar belakang hitam digunakan untuk memperkuat ilusi bahwa visualisasi memori ini sedang “melayang” dalam kekosongan.

Warna dalam karya ini didominasi oleh palet monokromatik—hitam, putih, abu-abu, dan perak—yang menciptakan kesan futuristik dan imersif. Semburat biru gelap atau emas muncul di beberapa bagian untuk memberikan aksen dan memperkuat kontras visual. Perpaduan warna gelap dan terang menciptakan kedalaman serta pergerakan yang dinamis dalam visualisasi. Tekstur dalam karya ini bersifat simulatif, diciptakan melalui algoritma data yang menghasilkan pola menyerupai logam cair, air, atau gelombang energi. Kilauan dan refleksi dalam warna perak dan abu-abu menciptakan ilusi materialitas, meskipun pada dasarnya ini adalah visualisasi digital yang tidak memiliki tekstur fisik.

Cahaya digunakan secara efektif dalam proyeksi LED untuk menciptakan efek iluminasi yang dramatis. Gerakan visualnya halus, konstan, dan hipnotis, memberi kesan bahwa kita sedang melihat otak yang bekerja dalam waktu nyata, menafsirkan data EEG menjadi pengalaman visual yang dinamis. Komposisi visual dalam Melting Memories seimbang secara asimetris, dengan pola gelombang atau pusaran yang tampaknya berkembang secara acak namun tetap harmonis. Irama dalam karya ini sangat kuat, terutama dalam sinkronisasi antara pergerakan visual dan musik ambient. Gelombang yang berdenyut perlahan serta perubahan bentuk visual mengikuti pola repetitif, tetapi tidak pernah benar-benar sama, menciptakan efek organik yang tidak kaku.

Kontras dalam karya ini hadir dalam perpaduan antara cahaya dan kegelapan serta warna terang dan gelap yang menciptakan kedalaman visual yang menonjol. Kesatuan visual dalam karya ini diperkuat oleh palet warna monokromatik dan ritme pergerakan yang seragam, sementara variasi hadir dalam perubahan pola gelombang serta struktur engram yang berbeda-beda.

Musik dalam Melting Memories bukan sekadar pelengkap, melainkan elemen krusial yang memperkuat tujuan utama karya ini: menghadirkan pengalaman imersif yang menyentuh indera dan emosi pengunjung. Dalam konteks karya yang mengeksplorasi memori—proses yang tidak hanya visual, tetapi juga emosional dan sensorik—musik berperan sebagai “jembatan emosional” yang menghubungkan data ilmiah dengan pengalaman manusia. Nada-nada elektronik yang lembut dan melankolis menghidupkan narasi personal di balik karya ini, yakni refleksi Anadol terhadap memori dan penyakit Alzheimer yang diderita pamannya. Melalui suara, Anadol menciptakan ruang kontemplatif yang memungkinkan pengunjung merasakan memori, bukan hanya melihatnya.

Keterlibatan emosi yang dibangun melalui elemen suara ini tidak hanya memperdalam makna tematik karya, tetapi juga memperkuat pengalaman visual yang dihadirkan. Musik memperkuat efek visual dalam karya ini dengan menambahkan dimensi waktu dan suasana. Visual dalam Melting Memories menampilkan pola dinamis yang menyerupai riak, pusaran, dan aliran yang terus bergerak tanpa adanya narasi linear.

Musik elektronik yang tenang dan mengalun dengan getaran rendah dan tempo lambat menciptakan ritme halus yang selaras dengan gerakan visual tersebut juga memperkuat kesan bahwa pengunjung sedang “masuk” ke dalam proses kognitif otak yang abstrak dan misterius. Efek suara seperti dengungan atau frekuensi elektronik juga menambah lapisan suara yang membuat pengalaman menjadi lebih nyata dan mendalam. Dengan kata lain, musik membantu menyatukan elemen abstrak dan data kompleks menjadi sesuatu yang dapat dirasakan secara intuitif oleh tubuh dan pikiran.

Keselarasan antara musik dan visual dalam Melting Memories dibangun melalui sinkronisasi irama dan atmosfer yang konsisten. Ritme lambat dalam musik mengikuti gerak visual yang halus, menciptakan hubungan harmonis antara apa yang dilihat dan didengar. Perubahan frekuensi suara yang perlahan, ditambah dengan komposisi melodi yang berlapis, memperkuat kesan bahwa pola visual yang muncul adalah manifestasi dari pikiran atau ingatan yang bergerak dalam kesadaran. Lapisan-lapisan suara dalam musik—seperti gema, suara bass lembut, dan dentuman elektronik—berinteraksi dengan kilatan cahaya serta perubahan warna dalam visual, menciptakan efek sinestetik (efek yang mana suara dan gambar seolah menyatu menjadi satu bahasa artistik).

Kesatuan ini menjadikan Melting Memories lebih dari sekadar karya seni visual atau instalasi media yang menyatukan data, emosi, suara, dan cahaya dalam pengalaman multisensorial yang mendalam. Musik menjembatani antara logika teknologi dan kepekaan manusia, memperkaya interpretasi pengunjung terhadap ingatan sebagai sesuatu yang rapuh namun indah.

Interpretasi: Ekspresionisme Abstrak dalam Wujud Digital

“Excavation” (1950) – Willem de Kooning
Oil on canvas, 205.7 × 254.6 cm
(Collection of the Art Institute of Chicago)

Instalasi Melting Memories menghadirkan pengalaman multisensori yang imersif (pengalaman yang melibatkan sepenuhnya indra dan perhatian seseorang), di mana visualisasi yang mengalir harmonis berpadu dengan musik ambient yang menciptakan atmosfer meditatif. Karya Melting Memories oleh Refik Anadol menyoroti pergeseran seni dalam era digital, menghadirkan eksplorasi baru terhadap memori, data, dan pengalaman manusia. 

Hasil pendekatan Anadol membentuk pola-pola dinamis yang menyerupai versi digital dari lukisan-lukisan ala Willem de Kooning (1904–1997, Belanda), Helen Frankenthaler (1928–2011, Amerika Serikat), atau Rothko (1903–1970, Latvia). Kemiripan antara Melting Memories karya Refik Anadol dengan karya Willem de Kooning, Helen Frankenthaler, dan Mark Rothko terlihat dalam pendekatan visual serta pengalaman emosional yang dihadirkannya. Sapuan kuas ekspresif dan bentuk cair dalam lukisan de Kooning tercermin dalam pola visual Anadol yang terus berubah, menyerupai gerakan spontan dalam seni ekspresionisme abstrak, tetapi dalam medium digital. Teknik soak-stain yang digunakan Helen Frankenthaler, di mana warna meresap ke dalam kanvas dan menciptakan transisi yang lembut, juga tampak dalam bagaimana visualisasi data dalam Melting Memories mengalir secara organik.

“Riverhead” (1963) – Helen Frankenthaler
Acrylic on canvas, 208.9 × 363.2 cm
(Kunstmuseum Basel, Switzerland)

Eksplorasi warna dan pengalaman meditatif dalam karya Rothko juga hadir dalam karya Anadol. Jika Rothko menciptakan blok warna besar dengan gradasi halus untuk membangkitkan emosi yang mendalam, Anadol menerapkan prinsip serupa melalui transisi warna yang perlahan berubah, berpadu dengan suara ambient yang menciptakan atmosfer yang imersif. Lukisan-lukisan ekspresionisme abstrak mengundang penonton untuk tenggelam dalam kedalaman warna dan komposisinya, sedangkan Melting Memories membawa pengalaman ini ke tingkat lebih lanjut dengan menggabungkan visualisasi dinamis berbasis data dan elemen suara.

Pendekatan Anadol juga menunjukkan bagaimana teknologi dapat menjadi evolusi dari seni konvensional. Jika para pelukis ekspresionisme abstrak menggunakan kuas dan cat untuk mengekspresikan perasaan, Anadol menerjemahkan prinsip yang sama ke dalam bentuk digital dengan memanfaatkan algoritma dan data otak manusia. Karya seni Melting Memories bukan hanya sebuah karya seni visual, tetapi juga refleksi bagaimana kecerdasan buatan dapat merekonstruksi dan menginterpretasikan estetika seni modern, mengaburkan batas antara arsip dan penciptaan, serta antara ingatan dan imajinasi.

“Untitled (Black on Gray)” (1969-70) – Mark Rothko
Oil on canvas, 203.3 cm × 175.5 cm
(Guggenheim Museum)

Seni digital, meski masih menghadapi skeptisisme dari kalangan umum, terus berkembang sebagai bentuk ekspresi yang tidak kalah mendalam dibanding seni konvensional. Seperti halnya ekspresionisme abstrak yang dahulu dianggap tidak konvensional sebelum akhirnya diterima sebagai gerakan seni penting, seni digital juga mengalami perjuangan serupa. Sejak era pionir seperti Frieder Nake (1938, Jerman) dan Vera Molnár (1924-2023, Hungaria), hingga perkembangan perangkat lunak seperti Photoshop dan 3D modeling pada 1980-an, medium ini terus berkembang meski menghadapi pertanyaan tentang keaslian dan kepemilikan.

Anadol menjadikannya lebih dari sekadar estetika, tetapi sebagai eksplorasi mendalam tentang hubungan manusia dengan teknologi dan ingatan. Dalam Melting Memories, seni menjadi ruang di mana data bertemu dengan emosi, di mana ingatan manusia divisualisasikan dalam bentuk yang terus bergerak dan berubah. Ini menantang cara kita memahami seni. Sama seperti para seniman modern sebelumnya menantang batasan kanvas dan warna. Seiring dengan kemajuan teknologi, karya Anadol menunjukkan bahwa seni digital bukan hanya alat baru, tetapi paradigma baru dalam memahami kreativitas dan persepsi.

Meskipun karya ini menghadirkan pengalaman estetika yang imersif dan membuka kemungkinan baru dalam eksplorasi memori manusia, karya ini juga mengundang refleksi lebih dalam tentang bagaimana teknologi mendefinisikan kembali pengalaman manusia. Di satu sisi, Anadol menggunakan kecerdasan buatan untuk memperluas batas seni, menciptakan ruang di mana data dan emosi dapat saling bertemu. Di sisi lain, pendekatan ini juga dapat dibaca sebagai bentuk reduksi pengalaman manusia menjadi sekadar informasi yang dapat dikendalikan, diklasifikasikan, dan dimanipulasi dalam sistem digital.

Dalam konteks ini, pemikiran Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man (1964) menjadi relevan. Marcuse mengkritik bagaimana teknologi seringkali berfungsi sebagai alat untuk menormalkan kontrol sosial, membentuk individu agar selaras dengan sistem yang membatasi pemikiran kritis mereka. Seni digital seperti Melting Memories dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap batasan-batasan tersebut dengan menghadirkan estetika yang cair dan terus berubah. Secara paradoks, karya ini juga berisiko memperlihatkan bagaimana teknologi dapat mereduksi kompleksitas manusia menjadi sekumpulan data yang terstruktur, sesuai dengan logika sistem kapitalisme digital yang disebut Marcuse.

Evaluasi

Jika Melting Memories ingin dibaca dalam semangat estetika radikal Marcuse, maka kita perlu mempertanyakan apakah karya ini sekadar menjadi pengalaman visual yang indah dan futuristik, atau apakah ia memiliki potensi untuk mengguncang pemahaman kita tentang bagaimana memori dikonstruksi dan dikontrol dalam era digital. Dalam masyarakat yang semakin bergantung pada teknologi, di mana data pribadi—termasuk aktivitas otak—semakin mudah dikumpulkan dan diproses oleh algoritma, karya ini juga dapat menjadi refleksi kritis tentang bagaimana teknologi memengaruhi subjektivitas dan pengalaman manusia.

Dari perspektif ini, Melting Memories berada di persimpangan antara estetika yang memperluas kesadaran dan estetika yang mungkin berkontribusi pada normalisasi teknologi sebagai instrumen kontrol. Ini menempatkan karya Anadol dalam diskusi yang lebih luas tentang peran seni dalam era digital: apakah seni digital dapat menjadi alat emansipasi yang memungkinkan kita membayangkan kemungkinan dunia yang berbeda, ataukah ia justru menjadi bagian dari estetika teknologi yang mendukung sistem yang ada?

***

  1. Alzheimer adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang menyebabkan kerusakan sel-sel otak dan penyebab utama demensia, yang ditandai dengan penurunan kemampuan kognitif. Penderitanya biasanya mengalami gangguan ingatan, kesulitan berpikir, dan perubahan perilaku. Di Indonesia, penyakit ini dikenal dengan nama pikun. (Fakhirah, Maitsa Alya, dan Patihul Husni. 2024. Potensi tanaman herbal sebagai agen terapi penyakit Alzheimer. Farmaka, 22 (2): 164.) ↩︎
  2. Pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik otak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempelkan elektroda di kulit kepala. ↩︎
  3. Hans Zimmer adalah komposer dan produser musik asal Jerman yang terkenal dengan karya-karyanya dalam film, seperti Inception (Christopher Nolan, 2010), The Dark Knight (Christopher Nolan, 2008), dan Interstellar (Christopher Nolan, 2014). Di film Blade Runner 2049 (2017), Zimmer berperan sebagai komposer musik, bekerja sama dengan Benjamin Wallfisch untuk menciptakan skor yang atmosferik dan mendalam, yang sangat mendukung suasana futuristik dan emosional dalam film tersebut. ↩︎
  4.  Benjamin Wallfisch adalah seorang komposer dan konduktor asal Inggris, terkenal dengan karyanya dalam film-film seperti It (Andy Muschietti, 2017), Shazam! (David F. Sandberg, 2019), dan Blade Runner 2049 (Denis Villeneuve, 2017). ↩︎
  5. Synthesizer adalah alat musik elektronik yang digunakan untuk menghasilkan berbagai jenis suara, mulai dari tiruan instrumen tradisional hingga efek suara unik yang tidak bisa dihasilkan oleh alat musik akustik. Synthesizer bekerja dengan cara mengolah gelombang suara menggunakan osilator, filter, dan modulasi, sehingga dapat menciptakan nada dan tekstur suara yang beragam. ↩︎

Daftar Pustaka

Fakhirah, Maitsa Alya, dan Patihul Husni. 2024. Potensi tanaman herbal sebagai agen terapi penyakit Alzheimer. Farmaka, 22 (2): 164.

Marcuse, H. (1964). One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press.

Marcuse, H. (1978). The Aesthetic Dimension: Toward a Critique of Marxist Aesthetics. Boston: Beacon Press.

Daftar Pranala

Artland Magazine. Refik Anadol: Pushing the Boundaries of Art and Technology. Diakses dari https://magazine.artland.com/refik-anadol/

DokuMag. Melting Memories by Refik Anadol. Diakses dari https://dokumag.wixsite.com/doku/melting-memories

Refik Anadol Studio. Melting Memories. Diakses dari https://refikanadolstudio.com/projects/melting-memories/

YouTube. How This Guy Uses A.I. to Create Art. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=I-EIVlHvHRM

YouTube. Refik Anadol – AI Data Sculpture. Diakses dari https://youtu.be/wS7lmqgtFhA

YouTube. Refik Anadol – AI-Generated Art. Diakses dari https://youtu.be/GG4GwxpXCXs

YouTube. Refik Anadol – Data as an Artistic Medium. Diakses dari https://youtu.be/B51H6_vVxfw

YouTube. Refik Anadol – Digital Art Installation. Diakses dari https://youtu.be/4oXaOvObsxA

YouTube. Refik Anadol – Immersive Art Experience. Diakses dari https://youtu.be/2t7p8AboAYA

YouTube. Refik Anadol – Latent Space Dreams. Diakses dari https://youtu.be/EP4kNKPUjZo

YouTube. Refik Anadol – Machine Hallucinations. Diakses dari https://youtu.be/C8o3rZejMt4

YouTube. Refik Anadol – Melting Memories. Diakses dari https://youtu.be/iz7diOuaTos

YouTube. Refik Anadol – Unsupervised MoMA. Diakses dari https://youtu.be/G2XdZIC3AM8

YouTube. Refik Anadol – WDCH Dreams. Diakses dari https://youtu.be/laqu7NqSlLo


Martha Debbs adalah peserta Applied Theory #3: Reportase dan Kritik Seni.

Editor: Jurnal 56
Foto sampul: Melting Memories Refik Anadol