Bertanggal 23 September 2021, artikel penuh resah Prabu Yudianto di Terminal Mojok ditutup dengan satu paragraf yang getir:
“…kalau Anda tinggal di SG, penggusuran harus diterima dengan semangat narimo ing pandum. Segala memori indah bisa dihapus dengan titah raja. Dan sampai saat saya menulis kalimat ini, saya masih belajar menerima realitas. Realitas bahwa kami hanyalah menumpang, tanpa peduli apa yang kami berikan pada tanah tumpangan kami. Belajar amorfati alias mencintai takdir sebagai calon orang yang diusir dari tanah kelahirannya. Narimo ing pandum yang menjadi narimo ing pan-doom.”1
Kehilangan tempat tinggal, seperti ajal, seakan menjadi takdir: kedatangannya pasti, tak bisa dihindari, tapi tak pernah diketahui kapan akan terjadi. Kegetiran semacam itu, saya kira, juga tengah dirasakan oleh Reza Kutjh, seorang warga Musikanan, Panembahan, Kecamatan Kraton.
Tapi, kalau dipikir-pikir, bukankah berbagai bidang dalam ranah humaniora kerap menjadikan rahasia kedatangan ajal—atau malapetaka lainnya—sebagai subject matter yang melaluinya kita didorong untuk bersedia menghargai kehidupan? Konon, di dalam yang pahit, peluang sukacita itu inheren dan karenanya kegetiran bisa dialami dan dimaknai secara puitik lewat suatu tanggapan artistik ataupun refleksi yang diantisipasi. Ketidakmenentuan nasib, seperti isu terkait hunian yang tidak permanen, misalnya, meskipun hal itu menggelisahkan, bisa menjadi zona reflektif sekaligus kritis yang meniscayakan kelegaan, terlepas dari entah bagaimana bentuk kelegaan itu nanti.
Pertanyaan pentingnya: apakah kemalangan mesti hanya ditunggu dan, kalau benar terjadi, nanti diterima begitu saja? Jawabannya, mungkin… jangan ditunggu. Sebab, kalau mengikuti pandangan sejumlah filsuf, yang paling masuk akal adalah merayakan yang sekarang. Jawaban seperti ini tentu saja bukan untuk mencegah kemalangan yang ditakdirkan, tetapi untuk meminimalkan [kalau bukan menghindari] penyesalan terhadap perubahan. Di masa depan, tatkala nostalgia akan masa lalu [hari ini] mendatangi diri, kemasygulan yang mencuat tanpa penyesalan adalah sebuah resolusi. Dengan kerangka berpikir seperti inilah kita bisa melihat nrima sebagai resistans cendikia. Terhadap hukum alam (atau Kekuasaan Tuhan), misalnya, perubahan diterima dengan kesadaran dan kemengertian teologis. Sedangkan terhadap hukum kekuasaan manusia, tema yang jadi pembicaraan kita, perubahan [sosial-budaya] mesti disadari sebagai bagian dari konflik kelas. Kelegaan itu, dengan kata lain, terletak pada kesadaran [atas hak dan batil; kebenaran dan keadilan].
Kutjh, seperti Yudianto, juga mengungkap kegetiran yang tengah dirasakannya itu. Tapi, di sini saya ingin menyatakan bahwa Kutjh lebih memilih untuk mengurainya dengan subtil. Pernyataan ini berdasarkan pada pengamatan yang saya lakukan terhadap proses berkarya Kutjh dalam rangka sebuah proyek seni site-specific yang salah satu output-nya telah pernah dipamerkan di Jogja Fotografis Festival (JOFFIS) 2023. Kelanjutan dari proyek itu kemudian dipresentasikan dalam bentuk pameran tunggal di MES 56, Yogyakarta, pada tanggal 20 Januari – 3 Februari 2025 dengan tajuk Around the Wall That Stood Between Us.
Around the Wall That Stood Between Us menyelami narasi yang saling bertaut antara tanah, ruang hunian, ingatan, dan temporalitas melalui sudut pandang personal yang mendalam. Karya-karya dalam pameran ini merefleksikan eksplorasi Reza Kutjh terhadap konsep ngindung—sebuah praktik tradisional menempati tanah pinjaman di magersari, pengaturan hunian sementara yang berada di bawah yurisdiksi Kesultanan Yogyakarta. Proyek ini menelusuri pengalaman lintas generasi tentang ketidakmenentuan dan memori spasial, sekaligus mengkaji dinamika penggunaan lahan, gentrifikasi, dan perpindahan budaya di tengah perubahan urban Yogyakarta yang semakin pesat.
Melalui koleksi karya berbasis lokasi—termasuk arsip foto yang disablon di atas papan kayu, kolase gambar digital yang disablon di atas kertas, serta gambar, memorabilia, video, dan instalasi objek—Kutjh merangkai narasi yang peka secara emosional dan penuh tekstur. Bentuk-bentuk yang terfragmentasi, saling tumpang tindih, dan tidak sempurna; merepresentasikan sifat memori yang sulit digenggam, menyamarkan batas antara ingatan personal dan sejarah kolektif. Dengan merefleksikan isu tentang kerapuhan rumah dan lemahnya rasa kepemilikan di tengah modernisasi dan komodifikasi, pameran ini menjadi sebuah aksi perlawanan yang penuh makna terhadap penghapusan ruang dan cerita, sekaligus mengundang audiens untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan tempat dan waktu.
***
Kutjh, sebagai seniman, menunjukkan gelagat yang agaknya berusaha berempati pada kekinian dan kedisinian, terutama di dalam proyek seni yang saya sebut di atas. Ekspresinya tentang perubahan kota—bahwa revitalisasi sejumlah situs terjadi begitu dekat dan jelas tersaksikan tapi keberlangsungannya terasa seolah “tanpa hiruk-pikuk” dan “sungkan untuk dibicarakan”—serta spekulasinya tentang penampakan kampung-kampung di masa depan, menawarkan sebuah perspektif yang lebih-kurang sejalan dengan framing yang sudah saya coba sampaikan di awal esai ini. Mengafirmasi ketidakpastian nasib sebagai warga, Kutjh memilih untuk merayakan yang sekarang; menghayati kemasakiniannya yang—dalam hubungannya dengan tanah dan hunian—rapuh.
Sebagaimana yang kita pahami bersama, proyek seni jangka panjang memang biasanya menjadi cara seorang seniman untuk memahami dan membangun kesadaran mendalam terhadap hal-hal di sekitar hidupnya. Melalui proses ini, konklusi estetik bisa dicapai, atau setidaknya: potensi transfiguratif dari hal-hal keseharian bisa ditemukan di dalam proses itu.
Memahami isu magersari dengan menggunakan perspektif Kutjh maka kita menyadari bahwa “kerapuhan”, “ketidakpastian”, dan “ketidakkekalan” bisa disikapi sebagai modalitas bahasa yang jauh lebih kompleks daripada sekadar “status yang ditakdirkan”. Sebagai bahasa, mereka tidaklah mutlak dan bukannya tak bisa diganggu gugat. Dengan menyadari politik dari bahasa, dan bahasa sebagai politik, maka emansipasi, ketahanan, dan bahkan perlawanan selalu bisa dimungkinkan. Kalau pun memang penggusuran tidak akan pernah batal, kita tetap berpeluang untuk mempertahankan nilai keberruangan dan kebernaratifan atas lahan dan hunian tersebut—dalam pengertian eksistensialnya. Nrima menjadi gerbang pertama untuk perlawanan terhadap penghapusan ruang-ruang dan cerita-cerita eksistensial ini.
Sederhananya: biarlah, kalau memang ruang itu dikuasai, dan akan diambil oleh pihak lain, tetapi interaksi kita terhadapnya, baik fisik maupun simbolis, serta cerita-cerita yang menggambarkan pengalaman interaksi tersebut, adalah cara terpenting untuk menciptakan makna dan identitas kita sendiri. Di tengah situasi-kondisi sosial, politik, dan budaya yang terus-menerus berubah, dan kenyataan bahwa perubahan itu tidak terhindarkan, ruang dan cerita eksistensial merupakan manifestasi dari perjuangan mempertahankan keberadaan kita terhadapnya; di dalamnya, atau bahkan di luarnya.
Sebab, ruang, meski fisiknya tak lagi kita miliki, akan selalu menjadi tempat atau tolok ukur kita dalam menavigasi relasi kekuasaan dan moral. Dan cerita, dalam kaitannya dengan [ingatan atas] ruang itu, menjadi basis pengalaman (atau bahkan pengalaman itu sendiri) yang memungkinkan transformasi sensorial dan emosional, menuju kelegaan—kebebasan.
Dalam pameran Around the Wall That Stood Between Us, bahasa dari ruang dan cerita eksistensial itulah yang dibicarakan, sekaligus dicoba untuk ditunjukkan, oleh Reza Kutjh melalui praktik artistiknya: sablon, gambar, dan citra bergerak.

***
Suatu kali saya bertanya kepada Kutjh, mengapa dia menyenangi sablon. Sederhana saja, jawabnya: “Aku suka tekstur visualnya itu, terasa fragile kalau sudah dicetak. Selain taktil, hasilnya biasanya juga nggak terduga.” Alasan subjektifnya ini membuat kita memafhumi ketertarikan dan kegemaran Kutjh lainnya pada visualitas foto-foto yang “sudah menjadi arsip”.
Dari sekian banyak alasan mengapa orang-orang bisa menyenangi arsip foto—mulai dari keberwujudan fisik yang membawa jejak waktu, suasana naratif yang mengesankan nostalgia, daya gugah emosional yang mengungkap kisah-kisah tersembunyi atau terlupakan, hingga nilai autentiknya sebagai artifak yang unik—agaknya fragilitas dalam konteks ekspresi visual merupakan aspek dari arsip foto yang paling relevan dengan karakter visual sablon, kalau bukan dengan fisiognomi-nya. Dalam relevansi ini, materialitas jadi terhubung dengan konsepsi faktura, yaitu ekspresi paling jujur dari kualitas permukaan material yang mengesampingkan potensi ilusionistik dan dekoratif demi menekankan metode produksi sebagai elemen utama dari nilai estetik dan ideologis karya. Lebih dari sekadar soal “selera estetika,” faktura mendorong kita untuk memandang proses produksi karya sebagai cerminan nyata dari kenyataan sosial sezaman yang melingkupi hari-hari si seniman.
Di pameran Around the Wall That Stood Between Us, arsip foto justru bukan objek yang dipajang. Yang kita lihat adalah hasil dari olahan baru dengan teknik cetak saring: Kutjh mereproduksi citra-citra dari arsip foto keluarga miliknya sebagai sablonan pada beberapa permukaan yang berbeda—kertas dan papan kayu. Dengan kata lain, ia memenggal wujud fisik arsip foto dan hanya menyisakan “konsep fragile”-nya saja ke dalam narasi pameran ini. Artinya, Kutjh bukan sedang membicarakan materialitas fisikal dari arsip foto. Akan tetapi, hal itu justru membuat fragilitas dalam pameran lebih menarik, karena menjadi berlapis dua. Pertama, “fragilitas representasional”, yaitu representasi visual dari citra arsip original—yang pada dasarnya adalah berwujud fragile karena telah termakan waktu. Kedua, “fragilitas faktual”, yaitu wujud material dari karya sablon itu sendiri yang salah satu karakteristik visualnya adalah juga fragile (atau setidaknya menggemakan sifat semacam itu).
Simpulan dari situasi di atas: Kutjh mempersonalisasi wacana “properti material” arsip keluarga ke dalam konteks praktik artistiknya sebagai seorang seniman sablon sehingga yang ia pamerkan ke publik adalah suatu output dari metamorfosis material—“wujud” arsip berubah menjadi sesuatu yang baru. Perlakuan material semacam itu merupakan suntikan subjektif, alih-alih objektif.Maka, di titik ini kita boleh berkeyakinan bahwa Kutjh memproduksi karya seni, bukan memamerulangkan arsip, dan subject matter Kutjh dalam konteks karya seni sablonnya adalah transformasi ketimbang properti fisik.
Menganalisisnya lebih jauh dengan kerangka teoretik faktura, kita akan bertemu dengan pemahaman bahwa spasialitas dan temporalitas, sebagai subtema yang dieksplorasi oleh Kutjh, tidak hanya berkenaan dengan narasi atau isu yang melatarbelakangi pengerjaan proyek seninya, yaitu narasi tentang kegamangan warga di area magersari terhadap kesementaraan hunian mereka. Yang tidak kalah penting, menurut saya, terutama dalam kaitannya dengan praktik artistik, ialah pilihan material sebagai “kategorisasi tanggapan” atas ruang dan waktu. Kutjh agaknya sengaja memilih material tertentu saat merealisasikan karyanya, demi menegaskan perihal waktu yang mana (antara masa lalu, masa kini, dan masa depan), serta ruang yang mana, yang sedang ia persoalkan. Sebab, bidang kertas atau bidang papan kayu memang hadir bukan tanpa alasan, baik secara artistik maupun reflektif.
Pada karya yang berjudul Yang Menempel Pada Dinding (2025), contohnya, papan kayu merefleksikan fakta material dan spasial dari rumah Kutjh sendiri yang persoalannya dialami pada masa kini. Dari segi realitas sosialnya, sehubungan dengan aspek naratif, material ini membawa impresi soal “ketidakpermanenan” dalam hal kedudukan rumah-rumah di Musikanan yang bisa dibilang merupakan “bangunan sementara”. Akan tetapi, secara artistik, material ini menjadi pembeda yang efeknya mensingularisasi kedudukannya di antara karya sablon lainnya di dalam pameran tersebut. Keberadaan papan kayu secara tidak langsung menunjukkan kecenderungan karya itu terhadap upaya Kutjh menghilangkan dikotomi mekanistis antara bentuk dan konten: papan kayu itu bukanlah bidang penopang pesan/konten, melainkan konten itu sendiri.
Oleh karena itu, patut dipahami bahwa ruang dan waktu dalam konteks Yang Menempel Pada Dinding adalah lebih daripada sekadar masalah representasi dari segi naratif, karena ia juga presentasi dari segi bentuk. Karya ini mewujud sebagai ‘tanda semi-terikat’ (motivated signs) yang mengemban hubungan indeksikal dengan ruang-waktu yang dibicarakannya, yaitu Musikanan sekarang. Ia signifikan sebagai karya seni sablon justru karena dicetak di atas papan kayu, material yang sama dengan bangunan rumah-rumah di Musikanan yang masih berdiri hingga hari ini. Kedudukan karya tersebut jelas berbeda dengan karya-karya sablon Kutjh yang dicetak di atas kertas yang, mengikuti kerangka analisis ini, relatif berfungsi sebagai pengategori perihal ruang-waktu masa lalu dan masa depan—atau, secara naratif, sebagai representasi bentuk lampau (preterite) dan yang akan datang (future tense).

***
Sablon—termasuk juga di dalamnya genre yang disebut serigrafi—masih dianggap sebagai praktik yang penting dalam lingkup kesenian dan budaya visual kontemporer hari ini. Namun, perspektif yang berkembang mengenainya sekarang, agaknya, berbeda jika dibandingkan dengan setengah abad lalu. Sementara seniman silkscreen yang hidup di antara masa pasca-Generasi Beat dan pra-Milenial mengamini penekanan pada aksesibilitas (dengan mengesampingkan siginfikansi “aura”), praktiksi zaman kini mungkin menyikapinya dengan rada-rada romantik. Sablon—dengan segala prosedural mekanis dan filosofi analog yang menyertainya—dilihat sebagai sarana yang bisa menawarkan aura baru terkait materialitas, khususnya di tengah-tengah zaman reproduksi digital yang disesaki teknologi komunikasi/media baru super canggih, super cepat. Sebab, sablon bagaimanapun memiliki plastisitasnya sendiri. Keluaran akhir dari praktik sablon tetaplah reproduksi citra, tetapi reproduksi yang dipercaya membawa kembali ke hadapan kita “rasa-material” yang sudah semakin tergeser oleh “kenyataan tersimulasi”.2
Sehubungan dengan hal itu, pandangan romantik atas sablon kemudian juga turut mewakili gelagat, kalau bukan semangat, bernostalgia—dan praktik ini bahkan bisa dibilang menjadi bagian dari boom nostalgia yang terjadi di Abad 21, yaitu suatu boom yang mengindikasikan krisis temporalitas: orang-orang bereaksi terhadap percepatan teknologis skala global dengan cara memperlambat aktivitas dan gaya hidupnya, sementara nostalgia (kerinduan terhadap masa lalu) merupakan salah satu keadaan yang dipilih dalam upaya melarikan diri dari krisis tersebut.3 Nostalgia, dengan kata lain, adalah penenang kepenatan, penyegar kejenuhan, perenyah kejemuan, penawar rasa sakit, dan penangkal rasa takut terhadap hantu kemajuan. Mencapnya lebih jauh dengan sudut pandang budaya yang lebih aktif: nostalgia adalah penyeimbang, atau perlawanan terhadap ketidakseimbangan yang mungkin dimunculkan oleh kemajuan.
Menempatkan ide yang sangat layak untuk kita renungkan bersama di atas ke dalam konteks wacana yang memayungi proyek Reza Kutjh, kemajuan yang dimaksud tentulah merujuk kepada perubahan ruang—pembangunan urban yang berlangsung terus-menerus. Dengan bernostalgia, ingatan tentang kota/kampung di masa lalu bisa menjadi landasan untuk mengkritisi perubahan yang terjadi dan tengah dihadapi.
Akan tetapi, di sinilah persoalannya: Kutjh sebenarnya tidak semata-mata berbicara tentang masa lampau saja, terutama di karya-karya sablonnya. Dia bukan sedang menyatakan bahwa Jogja masa lalu lebih baik atau lebih buruk dari Jogja hari ini. Lagipula, jika kita menyempitkan pembicaraan hanya pada area magersari di Musikanan, perubahan yang dikabarkan belumlah terjadi. Rumah-rumah masih berdiri seperti sedia kala dan belum ada satu warga pun yang digusur. Kutjh sendiri masih pulang-pergi antara MES 56 dan rumahnya selama satu minggu terakhir sebelum esai ini selesai saya tulis. Perubahan, dalam ruang-waktu keseharian Kutjh, adalah sesuatu yang statusnya masih diramalkan, sesuatu yang baru akan terjadi di masa depan.

Apakah kemudian nostalgia tidak relevan bagi perlawanan yang sedang diupayakan Kutjh?
Kalau kita menyimak salah satu karya Kutjh, yang berbentuk instalasi, di pameran ini, konsep nostalgia di atas barangkali masih bisa menjadi pisau bedah yang masuk akal. Dalam struktur instalasi yang berjudul Ingatan di Tanah Lapang (2025) itu, sebuah gambar bergerak (video) diproyeksikan ke layar di dinding. Sementara, sebuah objek berupa potongan pagar bengkok mengantarai atau menyela jalur cahaya di antara layar di dinding dan proyektor yang ada di lantai. Susunan ini menciptakan efek berupa siluet hitam, yang merupakan bayangan pagar, yang meniban video yang terproyeksi. Sebuah album, yang di dalamnya terdapat kumpulan kertas berisi catatan bertulis tangan, juga ditaruh [dalam keadaan terbuka] di dekat pagar itu. Videonya sendiri mengandung konten tentang kondisi terkini alun-alun utara Jogja yang sudah dipagari; warga tak bisa lagi berlari-lari ke tengah lapangan itu. Pagar bengkok buatan Kutjh, dapat dipahami kemudian, menjadi semacam simbol protes, sedangkan isi catatan-catatan di dalam album mengonfirmasi konsep yang mendasari karya ini, yaitu nostalgia tentang apa saja yang pernah dialami si seniman di alun-alun pada masa sebelum terjadinya pemugaran.
Dalam kasus karya instalasi tersebut, konsep nostalgia yang kita bicarakan berorientasi pada masa lalu (past-oriented nostalgia). Nilai positif dari nostalgia jenis ini adalah potensinya untuk mengimajinasikan masa depan yang lebih arif, karena keindahan masa lalu tidak jarang juga menjadi tolok ukur dalam proses kritisisme dan aktivisme. Nostalgia semacam ini nyatanya diamini pula dalam ragam perjuangan dekolonial. Bagaimanapun, menyadari nostalgia berorientasi-masa-lalu dalam pengertian positifnya, bagi proyek seni Kutjh, berarti menjaga kesadaran kelas.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana kita menarik ide ini untuk kembali mempersoalkan perkara sablon-menyablon itu?
***
Dalam seri berjudul Suatu Hari yang Kelabu (2025), Kutjh berspekulasi tentang penampakan visual kampung-kampung di magersari jika seandainya revitalisasi pemerintah benar terjadi. Dalam proses produksi karyanya, ia pertama-tama membuat lima kolase secara digital, berisi gabungan potongan-potongan citra fotografi dari berbagai sumber (tetapi bukan arsip yang merujuk langsung ke situs yang ia teliti), kemudian lebih jauh mengolah kolase digital itu menjadi material untuk disablon. Yang kita saksikan dalam pameran Around the Wall That Stood Between Us adalah ouput final dari praktik sablonnya: empat dari lima karya cetak sablon di atas kertas tersebut, yang masing-masingnya merupakan reproduksi dari citra kolase yang berbeda satu sama lain, digantung menyerong pada dinding. Pada setiap cetakan, Kutjh juga memberi sentuhan tangan secara langsung: ia menggambar menggunakan pensil warna bagian-bagian biru yang tampak seperti dinding seng atau kayu-kayu panjang pascapencetakan.
Jika kita mengurutkan proses produksi yang secara umum dilakukan oleh Kutjh ketika membuat karya sablon, sebenarnya terdapat beberapa tahapan transformasi material. Pertama, dari objek nyata ke citra fotografi—dan dapat diduga kuat bahwa citra fotografi itu pun direproduksi lagi secara digital ketika proses pemilahannya—kemudian menjadi arsip yang juga digital. Kedua, dari citra fotografi ke kolase. Ketiga, dari kolase digital ke sablon [analog]. Terakhir, dari cetak sablon ke “gambar” (dalam arti: Kutjh menggambar elemen visual tambahan secara langsung pada hasil cetakan). Ketika dipamerkan, kedudukan material dari karya tersebut sebagai “arsip” dan “kolase” telah menjadi “sejarah produksi”, sedangkan materialitas aktual (present material) yang dihadapkan ke penonton adalah materialitas sablon dan—hal yang pada akhirnya membuat masing-masing cetakan menjadi unik dan autentik—gambar.
Transformasi material dari digital ke analog ini jelas mengindikasikan suatu hubungan komplementer dalam hal penggunaan teknologi, sesuatu yang sudah menjadi gejala umum dari modus produksi visual (dan audio) kontemporer.4 Kehendak untuk memilih media analog sebagai output final, sebagaimana yang dilakukan Kutjh, saya kira bukan serta-merta menjadikan praktik semacam ini pendukung apa yang oleh Jonathan Sterne kritisi sebagai “metafisika rekaman”.5 Dengan memilih sablon sebagai aksi dan konsep artistik, itu tidak berarti bahwa Kutjh menganggap yang analog [sablon] “lebih estetik”, atau “lebih hidup”, ketimbang yang digital [kolase yang dibuat menggunakan software komputer]. Alasannya, Kutjh bukan sedang melarikan diri ke dalam suatu keadaan yang Laura U. Marks sebut sebagai ‘nostalgia analog’ (analog nostalgia)6, yaitu kerinduan retrospektif terhadap tanda-tanda yang hilang/busuk dalam perangkat/dunia analog. Kutjh bukan pula meromantisir karakteristik analog ke dalam atau melalui medialitas digital.

Motivasi Kutjh, menurut saya, jauh lebih kompleks dan politis daripada itu. Ini adalah persoalan refleksi mendalamnya atas peran medium dalam membentuk pengalaman artistik, yang mana hal itu sekaligus berhubungan dengan pernyataan sikap kritis dan ideologis si seniman terhadap segala hal yang menjadi dominan dan kekuasaan dalam kehidupan kontemporernya. Kritisisme atas medium inilah yang semestinya dipahami tengah bergema, sahut-menyahut, dengan kritisisme Kutjh atas kehidupan sosial-politik di sekitarnya.
Pendekatan produksi yang kompleks, seperti yang dilakukan Kutjh, memperlihatkan bahwa medium bukanlah sekadar alat untuk merepresentasikan gagasan, tetapi, sekali lagi saya katakan, juga bagian esensial dari proses kreatif—faktura. Transformasi dari objek digital (kolase) menjadi karya analog (sablon + gambar tangan), sebagai contohnya, justru menggarisbawahi nilai proses itu sendiri: suatu bentuk meditasi atas waktu, manualitas, dan keterlibatan langsung dalam seni. Aspek terpenting dari proses ini adalah transformasi material yang nyata, bukan sekadar imitasi estetika (baik itu dari digital ke analog maupun sebaliknya); transformasi yang menghadirkan kembali nilai kerja tangan dalam seni, menegaskan apresiasi pada proses manual, yang secara implisit mengkritisi wacana “kecepatan”, “instanitas”, dan “virtualitas” yang secara umum terasosiasi dengan teknologi digital—dalam pengertian yang lebih luas: kemajuan—modernitas.
Dengan menyadari fragilitas sebagai salah satu bahasa sablon yang signifikan, dan intervensi fisik yang langsung (kehadiran “jejak tangan”) sebagai aspek penting lainnya pada gambar, Kutjh melalui seri Suatu Hari yang Kelabu dengan cukup unik mengalterasi pengertian dari ‘reruntuhan tekstual’ (textual ruins).7 Visual yang tidak sempurna, atau bahkan gangguan dari keberadaan noise, dalam kasus karya ini, justru menjadi saksi dari kehadiran fisik dan emosional seniman. Secara filosofis, alih-alih menyatakan superioritas estetika tertentu pada medium tertentu, ia sebenarnya mencoba membangun ruang meditatif yang membuka peluang kehadiran konkret. Dengan menantang cara kita hari ini memandang medium, Kutjh secara tak langsung juga menawarkan suatu eksplorasi terhadap bagaimana medium bisa memengaruhi cara kita memahami dunia. Ini bukan soal “jiwa” atau “aura” yang kembali dihidupkan, melainkan—dengan kesadaran soal transformasi material—upaya penciptaan dialog yang lebih luas antara materialitas, waktu, dan proses kreatif dalam lanskap seni kontemporer.
Bagaimanapun, nostalgia masih tetap menjadi persoalan dalam hal ini. Tapi ingat, ini bukan tentang nostalgia yang meromantisir analog. Kutjh tidak seromantik itu. Poinnya terletak pada transformasi material, yang dengan begitu Kutjh tengah mengangkat nilai reflektif dari nostalgia itu sendiri. Dengan memadukan kecepatan penciptaan digital dan ketekunan proses manual, Kutjh mengedepankan bentuk nostalgia yang bersifat produktif—bukan sekadar pelarian dari realitas modern, tetapi sebuah cara untuk menantang ritme kemajuan (ruang dan teknologi) yang terlalu cepat sekaligus membuka kemungkinan baru bagi seni sebagai ruang perlawanan dan kontemplasi.
Dalam karya-karya Kutjh di proyek pameran ini, nostalgia di satu sisi memang menjadi semacam dispositive untuk mengeksplorasi masa lalu untuk evaluasi masa kini (sebagaimana yang tercermin di karya instalasi yang sudah kita bahas di atas), yang pada gilirannya menginspirasi imajinasi terhadap masa depan yang lebih berimbang, baik secara material maupun konseptual. Tapi di sisi lain, nostalgia juga hadir sebagai dispositive yang mengevaluasi masa kini dalam mempersiapkan diri menghadapi masa yang akan datang, terlepas apakah masa depan itu sesuai atau tidak dengan yang diharapkan. Ide inilah yang bisa kita argumentasikan sebagai dasar konsep dari seri sablon Suatu Hari yang Kelabu, yaitu anticipated nostalgia.8
Sebagaimana dijelaskan oleh Wing-Yee Cheung, anticipated nostalgia adalah suatu laku yang memprediksi, kalau bukan mengharapkan, atau meramalkan perasaan nostalgia di waktu mendatang. Berbeda dengan anticipatory nostalgia—kerinduan dialami pada masa kini ketika membayangkan sesuatu akan terjadi di masa depan—yang berdampak negatif, anticipated nostalgia mempunyai efek positif dan emansipatif.9 Anticipated nostalgia, menurut Wing-Yee Cheung, juga bisa menjadi cikal-bakal nostalgia personal karena didasarkan pada struktur pengetahuan autobigrafis yang sama, yang erat dengan fungsi psikologis optimal mengenai harga diri, relasi interpersonal (sosial), dan eksistensialisme.10
Kita tentunya bisa memahami bahwa apa yang tampak di keempat kertas itu hanyalah imajinasi—representasi dari suatu penampakan yang masih berupa dugaan yang dibayangkan si seniman di kepalanya sendiri. Akan tetapi, entah mengapa visual yang kita lihat terasa akrab. Ini mengindikasikan bahwa imajinasi si seniman selalu bertaut dengan memori kolektif, sementara imajinasi itu sendiri kerap menunjukkan tanda-tanda referensialnya ke dunia nyata. Dalam imajinasi tentang masa depan itu, Kutjh mengafirmasi rumah dan tanah yang hilang, lalu mengambil sikap empatik terhadap situasi terbaru yang dimungkinkan revitalisasi, yaitu lewat transfigurasi representasional atas memori lingkungan sekitar di masa mendatang. Visual dalam seri ini menjadi narasi tersendiri yang menegaskan potensi nostalgia di masa depan terhadap masa kini. Dengan kata lain, Suatu Hari yang Kelabu adalah refleksi di hari ini tentang refleksi yang diprediksi terjadi di masa depan.
Sebagai spekulasi artistik, saya berpendapat bahwa seri sablon ini dengan cerdas mencerminkan sejenis pandangan filosofis yang konon berkembang dalam tradisi sastra Jepang, mono no aware (atau ‘kepekaan terhadap hal-hal sementara’). Konsep ini terpaksa saya ambil karena tidak berhasil menemukan padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Memanifestasikan kepekaan terhadap lingkungan sekitar, karya seni sering kali hadir menjadi narasi tandingan terhadap kekuasaan yang tidak peka. Dalam konteks proyek seninya, Kutjh menghadirkan sablon sebaga sarana narasi eksistensial, untuk tetap menjaga keterhubungan dengan lokasi dan ingatan atasnya, sekaligus merangsang orang lain untuk memikirkan ulang hubungan mereka dengan ruang-waktu hari ini melalui pengimajinasian masa depan yang menggugah empati.
***

Sehubungan dengan upaya penciptaan ‘narasi tandingan’ (counter-narrative) tersebut, kita juga bisa melihat visi yang sama pada karya video eksperimental Kutjh yang berjudul Ada Buto di Dapur Rumahku (2025). Dapat kita lihat bahwa video ini merupakan karya yang paling jelas menunjukkan situasi terkini dari Musikanan, yang diwakili oleh rumah Kutjh sendiri. Dari proses produksi mengkonstruksi video ini jugalah, sebenarnya, judul pameran tunggal Kutjh terinspirasi: tembok yang berdiri mengantarai rumah-rumah warga.
Secara historis memang tembok banteng Keraton berdiri lebih dulu. Sejak magersari diberlakukan, pemukiman warga di area itu pun berkembang. Tanah yang dipinjamkan Keraton kemudian dipenuhi oleh rumah hunian warga karena orang-orang yang dulu diberi kepercayaan tempat hunian pastinya melahirkan keturunan. Bangunan-bangunan asli pun menyaru dengan bangunan-bangunan yang lebih baru. Dan bangunan-bangunan baru itu pun juga akhirnya dimakan usia; secara perlahan menciptakan suatu hubungan emosional dengan warga yang mendiaminya turun-menurun. Tapi itu semua tidak permanen. Suatu saat nanti, Keraton berhak mengambilnya kembali.
Sebagai orang luar yang tidak lahir dan hidup di sana, saya lumayan terkesima saat pertama kali bertamu ke rumah Kutjh. Mendapati dapur rumahnya berbatasan langsung dengan tembok benteng (dalam arti: tembok benteng itu secara langsung menjadi dinding yang menutup salah satu sisi rumah), bagi saya, adalah sebuah magic moment. Begitu dekatnya jarak antara hal yang dikhawatirkan warga masyarakat dengan ruang-ruang sirkulasi fisik warga itu sendiri, ternyata. Tapi tetap saja, wujud kekuasaan selalu terasa berada di kejauhan, meskipun daya intai dan kontrolnya selalu disadari oleh yang diintai dan dikontrol.
Kutjh menjadikan spasialitas dan temporalitas rumahnya sebagai subject matter video. Yang menarik, di dalam video ini kita tidak akan menyimak keluhan. Yang kita lihat adalah ambilan-ambilan citra tentang hari-hari yang tenang yang dijalani orang-orang di sekitaran rumah. Citra-citra ini kemudian disusun lalu dibenangmerahi dengan sebuah narasi: legenda tentang sesosok makhluk yang oleh semua orang dikenal dengan nama Buto—ilustrasi dari wajah makhluk ini terpampang di tembok benteng yang membatasi dapur rumah Kutjh.
Video tersebut jelas merupakan sebuah konstruksi eksperimental yang memadukan dokumenter dan fiksi. Ia seakan menjadi siasat metaforis untuk menyuarakan kegelisahan yang sulit untuk diungkapkan. Sosok yang dibicarakan di dalam narasi, yang kalau dalam dongeng-dongeng selalu ketiban sial mendapat peran antagonis, di video ini hadir sebagai repesentasi dari suatu kontradiksi: momok di satu sisi, penjaga di sisi yang lain—karakteristik yang memantulkan fungsi kekuasaan dalam lingkup hidup masyarakat feodal.
Dari situ kita bisa merefleksikan bagaimana Kutjh bermain-main dengan sesuatu yang bagi sebagian besar orang mungkin dianggap dilema, atau buah simalakama. Ketidakleluasaan untuk berbuat apa-apa, dalam praktik artistik Kutjh, justru menjadi pendorong untuk mengambil jalur memutar, yang lebih taktikal. Pada satu titik, mitos perlu dihadirkan, dan pada titik yang lain, seni tak perlu mensekularisasi ataupun merasionalisasinya. Justru seni perlu merayakannya, mengafirmasinya, bersahabat dengannya. Sebab, sebagai sebuah counter-, pemahaman vernakular atas mitos (atau legenda) merupakan lokus alternatif yang dari sana kita bisa menciptakan makna-makna eksistensial yang baru terhadap kebuntuan yang absurd.
Kalau bukan empati, paling tidak modus gaya ungkap seperti yang didemonstrasikan Ada Buto di Dapur Rumahku ini menggugah kesadaran tentang situasi yang kita alami terhadap ruang dan waktu. Bagaimanapun bentuk perlawanan yang dibayangkan dan yang ingin dilakukan, hal yang paling utama adalah kesadaran itu tidak boleh hilang. Dan Kutjh tengah mengupayakan pertahanan yang demikian.
***
- Prabu Yudianto, 23 September 2021, “Meski Terancam Diusir dari Sultan Ground, Saya (Terpaksa) Tetap Narimo Ing Pandum”, Terminal Mojok, diakses tanggal 17 Januari 2024 pukul 00:41 WIB: https://mojok.co/terminal/meski-terancam-diusir-dari-sultan-ground-saya-terpaksa-tetap-narimo-ing-pandum/ ↩︎
- Lihat penelitian Ieva Marija Reikalaitė, 2017, Screen Printing – Roots and Meaning In Contemporary Culture, Disertasi, IADE – Universidade Europeia. ↩︎
- Konon, Abad 21 adalah masa ketika “teknologi masa depan”, yang dahulunya hanya imajinasi masyarakat abad lampau, telah menjadi kenyataan dan keseharian, tetapi justru dialami oleh masyarakat yang sebagian besarnya malah merindukan nuansa dan gaya hidup masyarakat abad lampau. Katharina Niemeyer berargumen bahwa dahaga untuk kabur dari krisis temporalitas ini, yang mana nostalgia menjadi tujuan dari upaya melarikan diri darinya, secara ironis malah “terobati” oleh kebiasaan penggunaan teknologi, kebiasaan yang sebenarnya menjadi penyebab krisis itu sendiri. Lihat Katharina Niemeyer, “Introduction: Media and Nostalgia”, dalam Katharina Niemeyer (ed.), 2014, Media and Nostalgia: Yearning for the Past, Present and Future (Palgrave Macmillan), hlm. 1-2. ↩︎
- Ieva Marija Reikalaitė, op cit., hlm. 93. ↩︎
- Jonathan Sterne, 2006, The Death and Live of Digital Audio, Interdisciplinary Science Reviews, Vol. 31, No. 4, hlm. 339. ↩︎
- Laura U. Marks, 2002, Touch: Sensuous Theory and Multisensory Media (Minneapolis/London: University of Minnesota Press), hlm. 152 ↩︎
- Textual ruins adalah konsep yang digunakan Drehli Robnik untuk menyebut gaya estetika dari media-media analog (jika dibandingkan dengan media digital yang relatif lebih “perfect”), yaitu membawa suatu ‘penanda ketidakhadiran/ketidaklengkapan’ (signifiers of absence). [Lihat Drehli Robnik, 2005, Mass Memories of Movies. Cinephilia as Norm and Narrative in Blockbuster Culture, dalam M. de Valck and M. Hagener (eds.), Cinephilia: Movies, Love and Memory (Amsterdam: Amsterdam University Press), hlm. 59]. Namun, menurut saya, perlu pula kita merenungkan bahwa tekstual ruins ini, nyatanya, kerap pula diadopsi di dalam proses produksi digital zaman sekarang dalam rangka bernostalgia pada nuansa dan gaya bahasa analog, entah dalam tujuan romantik ataupun visioner. ↩︎
- Wing-Yee Cheung, 2023, Anticipated Nostalgia, Current Opinion in Psychology, Volume 49. ↩︎
- Wing-Yee Cheung, ibid., paragraf 4 dan paragraf 7-8. ↩︎
- Wing-Yee Cheung, ibid., paragraf 11. ↩︎
Manshur Zikri adalah kritikus, kurator, dan peneliti seni.
Editor: Jurnal 56
Foto sampul dan koleksi foto: Muhammad Alfariz