Museum-museum di Eropa menyimpan memori mengenai masyarakat Indonesia kala direkayasa modernitas. Produksi memori tersebut didorong, salah satunya, oleh hasrat penjajah untuk memahami masyarakat terkoloni melalui bingkai eurosentris. Proses menulis, menggambar, merekam dan menarasikan dari titik tersebut menjadi penegasan akan posisi masyarakat di bumi kolonial sebagai subordinat. Terjadilah jarak antara representasi dari luar terhadap otonomi masyarakat sehingga menciptakan ketimpangan pengetahuan. Museum sebagai ruang edukasi alternatif perlu berhadapan dengan dimensi produksi ingatan yang memiliki kompleksitas sekaligus kesadaran akan posisi di dalam peta poskolonial yang lebih luas.
Kisi-kisi dari produksi ini turut melibatkan sudut artistik dengan pemanfaatan beragam teknik dan alat untuk memproduksi citra. Sebutlah penekanan nilai eksotis pada corak lukisan mooi indie, kerja pembingkaian dalam dokumenter J. C. Lamster, serta rentetan ekspedisi yang menghasilkan catatan-catatan bertatapan kolonial. Keterlibatan praktik artistik dalam kerja produksi arsip memberikan lapisan otoritas seniman dalam menciptakan citra. Lapisan ini mengubah realitas masyarakat tertindas menjadi pengetahuan yang ‘seolah’ netral, yang sebenarnya menyingkap penindasan di belakang layar.
Bagaimana nasib ingatan kolektif yang disusupi citraan kolonialisme? Bagaimana ketika ekstensi ingatan mengandung tatapan kolonial didominasi ketersediaannya oleh institusi mapan? Sudah banyak strategi yang dilakukan oleh banyak lini pemikiran dalam membongkar keagungan pengetahuan Barat. Di saat yang bersamaan, tidak mungkin mengacuhkan dampak proyek modernitas yang secara total telah merekonfigurasi tatanan masyarakat global. Bisa jadi, imajinasi mengenai identitas kolektif masih dipengaruhi oleh persebaran citra-citra lampau yang dihasilkan saat penjajahan panas dan terus dilanggengkan oleh institusi formal sampai saat ini. Lebih-lebih ketika citra tersebut dapat diapropriasi otoritas baru yang mengambil gaya kolonialisme dalam rezim selama 32 tahun.
Menyoal citra dan ingatan masyarakat yang dikoloni, menjadi koridor seni Timoteus Anggawan Kusno (selanjutnya disebut Takusno) selama beberapa tahun terakhir. Proyek-proyek seperti Tanah Runcuk, Luka dan Bisa Kubawa Berlari, serta Terra Incognita menunjukkan konsentrasi Takusno meretas konstruksi sejarah dengan beragam pendekatan disiplin dan medium. Pada pameran Fever Dream yang berlangsung 30 Juni – 25 Agustus 2024 di Tirtodipuran Link Building A, Takusno bekerja sama dengan Kohesi Initiatives dan kurator Alia Swastika untuk menghadirkan pameran dengan tawaran presentasi selayak ‘set film’ menggunakan pusparagam inventori karya miliknya. Fever Dream memaparkan logika kerja dari arsip kolonial dengan pembingkaian melankolia, kerinduan akan sesuatu yang tidak ada. Pengalaman menonton pameran menjadi bombardir visual tentang kejayaan kerajaan Netherlands, dengan cara mendadar budaya visual kolonialisme.

Sebatas Penonton Poskolonial
Kehadiran saya pada pameran ini adalah sebagai publik yang tidak memikirkan wacana poskolonial secara mendalam. Pembicaraannya di kancah budaya maupun akademik hanya saya sesapi sebagai penonton yang, pun memahami bobotnya, tidak memikirkannya sebagai isu immediate. Belum lagi kekhawatiran untuk keliru mengaplikasikan konsep kala disandingkan dengan keluasan serta cepatnya pemikiran ini berkembang. Kombinasi dari semua ini adalah minimnya perangkat bahasa sendiri untuk mempertanyakan citra secara kritis. Dari celah ini, bagaimana sekiranya sebuah pameran yang membicarakan ketimpangan distribusi pengetahuan meminjamkan bahasanya agar saya berpikir?
Alih-alih menaruh Takusno pada singgasana, saya ingin merujuk balik pada satu kerangka berpikir yang diperkenalkan kepada saya dari kelas Applied Theory di Ruang MES 56. Melalui beberapa kelas, pemateri kami menjelaskan peluang emansipatoris seni ketika menggeser asumsi tentang penontonnya melalui pemikiran Jacques Ranciere. Pada penjabaran mengenai politik estetika, Ranciere berangkat dengan mengkritisi dua rezim pada seni yang tumbuh di kanon Barat: seni yang bekerja pada penyadaran akan false-reality a la gua Platon (rezim etis) serta seni yang bekerja pada langgam formal di dalamnya (rezim representatif). Peluang emansipasi seni bagi Ranciere dapat timbul dari kemungkinan pembelajaran melalui penempatan kembali kebebasan dari si penonton.
Secara pedagogis, pemikiran emansipasi dalam seni Ranciere bermula dari pembacaan eksperimentasi perkuliahan Jean-Joseph Jacotot di Belgia pada awal abad ke 19. Selagi mengajar di Louvain, Jacotot mengimplementasikan cara mengajar yang berorientasi pada kapasitas muridnya untuk mencari tahu secara mandiri. Hal ini dilakukan dengan memahami kalau murid (ignorant) memiliki kepekaannya sendiri akan realitas dan jarak antara ia dan kebodohan hanyalah sesuatu yang dipahami oleh sang guru (master). Ketimbang memindahkan pengetahuan dengan mempolisikan logika, Jacotot hanya menciptakan “rujukan” selagi memberikan kebebasan bagi para murid untuk berpikir dan mengeksplorasi. Ini mengubah bentuk pendidikan berbasis stultification menjadi penyetaraan intelegensi sebagai landasan pengemansipasian.
Prinsip tersebut, setelah Ranciere kupas dalam buku Ignorant Schoolmaster, ia lanjutkan dengan teoritisasi emancipated spectator. Cara ‘spectator’ hadir ialah melalui kritik posisi penonton yang ada di dalam Epic Theater Brecht1 pada pertengahan abad ke 20. Tradisi teater ini memperlakukan penonton sebagai bagian dari masyarakat yang perlu “disadarkan” oleh teater untuk menyikapi situasi kesehariannya. Ranciere membaca pada Epic Theater terdapat anggapan bahwa di dalam komponen mendasar teater (actor-spectator) terdapat asumsi superior-inferior melalui kapasitas untuk berbicara dan modal pengetahuan yang tidak dimiliki spectator2. Bagi Ranciere, seni seperti ini masih memiliki struktur origin yang dominan dalam membentuk pemisahan dalam suatu tatanan masyarakat.
Memikirkan ulang keaktifan spectator dalam berpikir melalui karya seni Ranciere memerlukan pemanggilan kembali gagasan yang ditelurkan oleh German Idealism, utamanya, pengalaman estetis. Aesthetic Judgement yang dibicarakan Kant menjelaskan proses kesadaran menginterpretasi realitas melalui sense (indrawi) untuk ditautkan dengan konsep tertentu melalui jembatan imajinasi. Ketika sensibilitas (penginderaan) akan objek tidak sebanding dengan kategori konsep yang tersedia, ia akan memantik imajinasi beroperasi dengan lebih intensif, menghasilkan sensasi yang sublim. Struktur kesadaran (yang Kant tidak tempatkan untuk mengalami karya seni) inilah yang memungkinkan spectator mendapat emansipasi melalui karya seni. Ketidaktertarikan seni terhadap pemaknaan baku akhirnya memfasilitasi free play of interpretation yang bergerak selayaknya ignorant schoolmaster. Politik Estetika Ranciere menjadi sebuah pendistribusian kembali terhadap apa yang sensible melalui rezim estetika sehingga mampu mendisrupsi akibat dari dominasi di dalam keseharian3.
Saya menemukan optimisme dalam emancipated spectator terhadap karya seni yang mengedarkan sense di dalam masyarakat. Saking optimisnya, saya ingin menguji bagaimana janji seni Ranciere mampu eksis pada pameran Fever Dream di hadapan bagasi ketidakfasihan saya pada wacana yang mereka ajukan. Hal tersebut akan saya lakukan dengan mengurai sifat panggung yang mempropagasikan konsep poskolonialisme pada distribusi ingatan. Kemudian, saya ingin mengetahui asumsi apa yang pameran ini berikan kepada saya? Apakah pameran ini cukup bawel untuk menjelaskan kepentingan politisnya, hingga pada akhirnya bagaimana spectatorship saya difasilitasi oleh panggung yang dibentuk oleh sebuah pameran kubik putih?

Metafor atas Ruang Set Film
Klaim …dipresentasikan seperti sebuah upaya membangun ruang set film…4 mencuat di lambung wall-text Fever Dream sebelum memasuki instalasi akhir dari pameran. Penempatan catatan kuratorial yang mengungkap konsep pameran tidak lagi eksis sebagai pengantar melainkan bagian dari adegan pameran sekaligus kesempatan berefleksi. Keputusan tersebut membuat saya memikirkan tentang rancangan kepanggungan yang dibangun sepanjang pameran Fever Dream. Saya mencurigai terdapat semacam presentasi yang mengganggu kebiasaan penonton seni rupa kontemporer dengan cara mengambil ide dari montase film. Indeks kekaryaan sudah tidak beroperasi secara tercacah, tapi termutakhirkan ketika pengalamannya menghantui di belakang citra gerak di ujung pameran.
Pertama perlu dijabarkan terlebih dahulu bagaimana bingkai “ruang set film” diterapkan dalam pameran ini. Untuk itu, kita bisa mencoba menjelaskan definisi umum dari set film sebagai sebuah lokasi dengan kehadiran pelbagai objek yang diintervensi oleh kehadiran imajinasi perangkat rekam. Konsep tersebut tidak terhenti pada bentuk klise semata, melainkan dapat diperluas sebagai imajinasi pembagian peran kepada spectator untuk memainkan fungsi perangkat rekam yang ada pada sebuah set film. Diamnya sebuah set mampu digerakkan melalui kerja “merekam” yang menghasilkan “rekaman” berupa ingatan sebagai penubuhan arsip. Keleluasaan menonton melapisi operasi bidikan spectator dalam merekayasa realitas materi pamer pada benak pikirannya, selayaknya montase.
Objek-objek yang mengisi set film ini berupa karya-karya milik Takusno selama 10 tahun terakhir. Mengacu pada exhibition guide dan katalog, pameran ini disusun dengan sembilan segmen yang terbagi menjadi dua lantai di Tirtodipuran Link dengan komposisi kurang lebih 45 karya. Terdapat beberapa karya yang pernah ditampilkan pada proyek pendahulunya, seperti proyek Memoar Tanah Runcuk tahun 2014 (beserta laman Centre for Tanah Runcuk Studies karya berbasis web yang masih berjalan) dan pameran Revolusi! tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Rijksmuseum sembari disandingkan dengan karya-karya yang tampil secara perdana. Penataan tersebut menjadi sumber bidikan spectator untuk melihat historiografi-alternatif Takusno melalui reproduksi arsip secara artistik.
Momentum residensi di Rijksakademie pada 2019 serta riset pameran Revolusi! pada 2022 membiasakan Takusno bekerja dengan artefak kolonial. Keakraban ini berbeda dengan publik yang hanya mengalami materi terdisplay dan terkurasi, Takusno bersentuhan dengan koleksi yang tersimpan di gudang museum Rijksmuseum. Ia melihat pemeriksaan terhadap label, kategori, tabel dan juga informasi objek serupa dengan catatan medis kedokteran terlebih pada hal sterilisasi, birokrasi serta prosedur yang berbelit-belit untuk mendekati dan menyentuh koleksi5. Takusno mencatat tetap ada kekeliruan dan ketidaklengkapan informasi di dalam artefak yang ada di Rijksmuseum. Pengalaman poskol Takusno seolah lebih konkret pada kesempatannya menonton objek kolonial dengan saku identitasnya: identitas pinggiran yang memasuki pusat produksi narasi sejarah beserta penyadaran akan dampak partisi tersebut terhadap ide tentang nasionalisme.
Modus ‘membagi akses’ inilah yang menjadi narasi utama di dalam ‘ruang set film’ Fever Dream. Seperti kamera, ia mereproduksi imajinasi tentang ‘Museum Eropa’ dan menayangkannya kembali di Yogyakarta untuk direkayasa sekali lagi oleh spectatorship penonton. Jika kita mengandaikan artefak maupun arsip sebagai suatu ‘perekaman’ (yang sejatinya mengubah realitas materiil menjadi realitas representatif), mungkin belum cukup untuk menimang pameran Takusno sebagai rekaman dari rekaman semata. Ketika mendekatinya secara Rancierian kita mampu menjadikannya sebagai pranala untuk menyorot partisi apa yang sudah dibangun pada permuseuman hari ini.

Sensibilitas Menurut Pemerintah (eks) Kolonial
Masa penelitian Takusno bertepatan dengan gencarnya wacana repatriasi dan restitusi artefak kolonial yang diklaim oleh museum-museum Belanda. Sebutlah Wereldmuseum Leiden (sebelumnya Museum Volkenkunde) yang memulangkan artefak kolonial ke pemerintah Indonesia dan Sri Lanka pada 2023 silam6. Wereldmuseum Leiden ada di bawah penggabungan tiga museum yang lain yakni Tropenmuseum, Wereldmuseum (Rotterdam), dan Afrika Museum di Berg en Dal (sudah tutup) menjadi Wereldmuseum (museum dunia). Peralihan dari nama mereka sebelumnya merupakan salah satu upaya pelepasan beban museum etnografis yang telah mengoper kekayaan wilayah koloni ke Eropa. Rangkaian peristiwa tersebut selaras dengan kehadiran praktik critical museum7 yang menanggapi lancaran kritik-kritik terhadap museum di bawah gelombang dekolonisasi global. Lonjakan budi baik ini tidak hadir secara mendadak, ia berangkat dari sebuah katalis yang menyediakan insentif untuk mendistribusikan ulang kekayaan pengetahuan museum kepada masyarakat tertindas.
Akar dari kritisisme ini berkaitan dengan hasil penelusuran Remy Limpach pada tahun 2016 tentang pembakaran kampung-kampung di Sulawesi selama masa Agresi Militer Belanda8. Limpach menggunakan istilah “kekerasan ekstrim” untuk menjelaskan bentuk kejahatan sistematis yang terjadi kepada masyarakat Indonesia. Label tersebut akhirnya mendesak Pemerintah Belanda untuk mengeluarkan 4.1 juta Euro untuk membiayai penelitian gabungan antara NIOD, the KITLV, dan the NIMH yang akhirnya menerbitkan laporan Beyond the Pale pada tahun 2022. Strategi-strategi kebudayaan berikutnya dilancarkan sebagai aksi menyelamatkan citra di bawah politik etis, yang disebut Majalah Tempo sebagai “Bayar-bayar Setelah Bantai”. Banyaknya pintu kolaborasi yang terbuka merupakan peragaan soft power pemerintah Belanda alih-alih rasa pertanggungjawaban etis yang benar.
Rute rekonsiliasi melalui kebudayaan turut memberikan pantulan mengenai ketidaksetaraan dalam membentuk sejarah kita sendiri. Ia mengungkapkan satu lapisan mengenai poskolonialitas yang menandai kekuatan custodial institusi Barat dalam mengendalikan peredaran ingatan. Kesempatan untuk mengisi celah-celah pengetahuan kita sendiri akhirnya bergantung secara hubungan paternalistik dengan institusi tersebut. Kita perlu berpikir dua kali ketika bertatapan dengan citra yang berhasil dipindah-lokasikan kembali dengan rute yang ia ambil. Kemungkinan mendadar lapisan itu dapat dilakukan dengan mengidentifikasi apa yang I Gde Mika sebut sebagai “posisi absen”.
Pantulan Hype Resemblance
Pada artikel ‘Pemetaan Citra-citra Filem sebagai Peta dan Pemetaan’, I Gde Mika membahas praktik artistik Otty Widasari yang membidik-balik keberadaan perangkat rekam di dalam arsip-arsip kolonial9. Mika menerangkan bahwa titik melihat (di sini, diproduksi oleh perangkat rekam) yang mendefinisikan bidikan (di sana, merujuk pada citra) ditandai dengan alat produksi yang absen pada konsep layar dan hanya bisa dikembalikan fitrahnya begitu teridentifikasi lagi melalui bidikan yang lain. Pembacaan Mika terhadap Otty saya rasa cukup sesuai untuk memahami pembacaan Alia terhadap Takusno. Di dalam teks ‘Fever Dream: Recalling Embodied Past’, Alia menggunakan gagasan Ranciere mengenai Hyper-resemblance untuk menerangkan suatu peniruan yang lebih tulen, yang tidak menyediakan replika realitas tetapi menantang langsung ke tempat-tempat yang dijangkaunya. Dua konsep ini (Mika yang lebih filmis, dan Alia yang yang lebih seni rupa) mencoba menggali sesuatu yang terhapuskan daripada presentasi sebuah citra, bagi saya, dapat dimunculkan melalui teknik reproduksi.
Demikian citra artistik Takusno dapat dipahami sebagai upaya membongkar hubungan tersebut ketika spectator dapat menatap sifat kehadirannya. Realitas di dalam lukisan, foto, video pun instalasi yang dipamerkan tidak berhenti kepada pencitraan objek kultural di tempat lain melainkan jejak-jejak yang membentuk aura objek tersebut. Metode presentasinya memiliki tanggung-jawab untuk memontase seisi pameran secara utuh sebagai sebuah pameran ‘sinematik’. Oleh karenanya, setelah bersusah payah membangun pengetahuan yang mendahului, kita bisa membaca karya-karya di dalam Fever Dream sebagai sebuah film. Sebuah dokumenter reflektif yang menginginkan pembebasan dari rezim museum terhadap kontrol pengetahuan.
Terdapat tiga segmen yang ingin saya rujuk sebagai perwakilan tabiat reproduksi yang dimiliki Takusno. Pertama di dalam segmen Montage Labs, Takusno merancang sebuah ruangan kerja yang diisi dengan berbagai benda-benda kepemilikan sang ‘pengarang’ (dalam konteks film: sutradara). Pada ruangan awal ini, penonton didorong untuk berinteraksi dengan karya-karya di atas meja kerja melalui teknik display tactile. Takusno menjelaskan kalau ia berupaya menurunkan strata citra kepada sesuatu yang analog. Ini berkaitan dengan masa tumbuh kembang Takusno di Sumatera bersama dengan keluarganya yang mengelola sebuah studio foto. Di titik ini Takusno semacam membiasakan penonton terhadap dimensi material tempat citra bernaung alih-alih menatapnya pada realitas layar yang berpendar melalui cahaya. Ia mensejajarkan basis pengetahuan yang bersifat abstrak ke material, yang bisa disentuh dan dirasakan oleh indera-indera lain.
Takusno bereksperimentasi dengan kecerdasan artifisial untuk memproduksi seri foto negatif yang dipajang di atas meja. Yang ia hadirkan merupakan citra yang tidak dikonstruksi melalui craftsmanship seniman secara sadar dari momen-ke-momen, tapi melalui himpunan data yang di-generate dan dimodifikasi sampai mencapai hasil yang ia inginkan. Moda interaksi untuk melihat citra dikembalikan pada sensasi yang lebih analog dengan penyediaan magnifier sehingga mengatur ketubuhan penonton menjadi seperti peneliti. Selepas caranya dikonstruksi, sebagai sebuah pengalaman, citra seperti ini bergerak di bawah lembah janggal (uncanny valley) di mana pencitraannya tidak dihasilkan oleh kepresisian kamera ataupun techne pelukis, tapi sesuatu yang seolah impersonal. Impersonal yang mengisyaratkan laku kolonialisme dalam menaruh justifikasi pada aksi-aksi yang mereka lakukan. Bentuk tidak faktual gambar berpuisi dengan media analog dari kamera akhirnya menimbulkan satu posisi yang saling menusuk. Dari titik inilah gagasan kemapanan citra ingin dihancurkan oleh pameran/film Fever Dream.
Berikutnya pada segmen Dismantling the Monument (2023) juga Setelah Luka dan Bisa Kubawa Berlari (2024) kita melihat petualangan citra dalam tubuh-tubuh tiga dimensional. Dominasi citra dua dimensional di segmen Montage Labs dibalas dengan instalasi yang bervolume juga sudut memandangnya sendiri. Seri ini, hemat saya, masih tergelincir pada repertoire assemblage representasional dalam membahas keterjajahan. Sebagai komposisi berbagai objek, Setelah Luka dan Bisa Kubawa Berlari memungkinkan interpretasi gamblang daripada dua macan sekarat atau terperangkap, numerasi terompet yang sulit dikaitkan dengan jumlah agama, juga teks VOID dengan benturan-jahitan dua materi rajut diatas lukisan bercorak pemandangan. Dismantling the Monument memerlukan (atau akan sangat terbantu) pengetahuan akan pameran Takusno sebelumnya untuk mengenali kode-kode dari creature-fiction dari historiografi alternatifnya. Kedua segmen berdiri diantara obskur dan banal, mengundang pertanyaan sekaligus dismissal dihadapan putusan pengerjaan yang grandeur. Selepas itu semua kedua karya lebih piawai untuk membahasakan sesuatu yang menjadi topik posisi absen, utamanya sudut yang mustahil.
Pada Dismantling the Monument Takusno mencoba menggunakan kebahasaan diorama yang merekonstruksi sebuah peristiwa sejarah. Presentasi Takusno menjorokan karya ke tembok sehingga mengeliminir beberapa sudut untuk melihat karya. Alhasil perspektif penonton hanya mampu berhadapan dari proyeksi lurus dari komposisi karya tanpa mampu mengitari dari kiri kanan maupun belakang. Ia seperti mencoba mereproduksi estetika relief namun dikomposisi dengan scaffolding serta figure-figure dari resin. Ketrimataannya menjadi seperti-semu dan lebih mendekati dua setengah dimensi yang memiliki efek timbul. Kegamangan bentuk ini melanjutkan konsep historiografi-alternatif Takusno yang berupaya memantulkan kekerasan epistemik dari poskolonial dengan merekonstruksi tempatnya dibangun.
Setelah Luka dan Bisa Kubawa Berlari (2024) merupakan kelanjutan dari Karya Takusno yang dipamerkan saat pameran 2022 Revolusi! Pada lantai dua terdapat karya video berjudul Tunggang Langgang yang membahas mengenai pabrik gula di Jawa dan proses persiapan menuju pameran Revolusi!. Kesadaran mengenai presentasinya di Rijksmuseum menjadi pembanding terhadap versi yang berada di pameran Fever Dream. Namun lagi-lagi karena penuturannya terbalik (dalam konteks: sejarah karya dihadirkan setelah menonton karya) montase Pameran menjadi sebuah bentur-benturan dari informasi yang disajikan secara parsial. Menyadari ketidaklengkapan itu menjadi ruang bermain para penonton untuk berspekulasi dan diperbandingkan dengan pendokumentasian lainnya.
Tiga segmen ini mewakili cara memahami karya Takusno bukan sebagai benda estetisnya melainkan ungkapan relasi publik dan sejarah yang lebih luas. Hyper-resemblance mengakses ingatan akan keberadaan pengetahuan yang dibekukan dalam arsip yang terdistribusi pada etalase museum, buku sejarah, bahkan arsip privat. Di samping ketiga segmen tersebut masih ada beragam lukisan dan drawing yang juga didasari oleh pola serupa seperti kepekaan terhadap cara merekayasa teknik para kolonial. Melampaui motif-motif serupa saya pikir praktik artistik Takusno tidak berhenti disitu. Lagi-lagi, pameran ini dirancang sebagai set film yang berkesinambungan antar citra untuk menjadi susunan adegan. Dari semua ini kita juga bisa melihat bagaimana Takusno mengerjakan sifat teknologis film yang berkaitan dengan kapasitasnya menghidupkan sekaligus mengabadikan kenyataan melalui gerak.

Membekukan Gerak
Video atau sinema eksis pada konsesi gambar yang saling berhubungan dalam durasi tertentu untuk memproduksi impresi gerak. Melihat kualitas gerak menjadi salah satu cara untuk memproblematisir medium dengan presentasi yang ‘paling mendekati kenyataan’. Kita sudah membahas bagaimana ruang set film Takusno bisa seolah digerakan dengan spectatorship penonton yang berperan sebagai perangkat rekam. Otonomi ini akhirnya perlu berjumpa dengan sifat kewahanaan daripada tempat ingatan bernaung. Karya-karya Takusno berikutnya seolah ingin mensimulasikan (sekaligus mendisrupsi) gerak sebagai suatu dimensi politis di dalam stratifikasi pembidikan kebenaran dokumenter yang nyaris mutlak. Berjalannya film yang dibayangkan oleh montase besar pameran kemudian mengalami kerancuan dengan kehadiran rekayasa berikutnya.
Masalah dari kualitas ini dihadirkan Takusno secara puitik dengan gagasan ‘gerak yang didiamkan’ di dalam instalasi Void of Time (2024, delapan seri) yang secara jelas membekukan beberapa bingkai dalam instalasi moving-image terakhir Fever Dream. Secara pembabakan, Takusno mengimplementasikan logika serupa dari hubungan video ‘Tunggang Langgang-Setelah Luka dan Bisa Kubawa Berlari’ yang turut mempresentasikan pengalihwahanaan ke kepingan analog dari sesuatu yang sebelumnya bergerak dan terkesan efemeral di babak lanjut pameran. Instalasi Void of Time menangkap jejak efek kabur-gerak yang mempengaruhi materialitas video akibat teknik penggunaan kamera yang, kalau boleh disebut, amateurial. Karena ia membuat jeda satu pergerakan secara sadar, putusan ‘pemotongan adegan’ yang bersifat tetap memberikan sensasi bergerak seperti yang dilakukan pelukis-pelukis impresionis Perancis. Menjeda menjadi politis karena ia membantah sifat bergerak dari satu kenyataan cepat pada satu bingkai yang tidak diniatkan secara fotografis. Jeda reflektif dalam konsep menonton lukisan seperti dikembalikan dengan mematerialkan sifat medium ke analog, pada wahana neon box, logika yang sama dalam seri Montage Labs.
Upaya membekukan suatu gerakan dari Void of Time agaknya dibalik pada beberapa karya yang mencoba mereproduksi ‘menggerakkan’ sesuatu yang sejatinya tidak tergerakkan. Dalam The Hidden Force buku biografi Van Heutsz, seorang gubernur jenderal Hindia Belanda yang keji disini tapi pahlawan disana, diintervensi oleh Drawing Charcoal Takusno yang mengingatkan kita dengan studi gerak Eadweard Muybridge menggunakan fotografi. Buku dibuka dan ditata dalam lima baris yang masing-masing menunjukkan satu rangkaian citra berkesinambung. Charcoal menindih teks-teks yang menarasikan kepahlawanan Van Heutsz di Hindia Belanda dan dikomposisi secara sekuensial dalam baris horizontal. Hubungan antara dari drawing-ke-drawing menjadi hubungan bingkai-ke-bingkai dalam karya Moving Image. Di titik ini Takusno tengah menarasikan secara puitik bagaimana sebuah daya dibangun sebagai satu kontinuitas, gerak sebagai bagian dari citra gerak yang sinonim dengan kenyataan sahih menjadi daya tersembunyi yang mengkonstruksi suatu kenyataan.
Film Fever Dream telah memperagakan bagaimana citra dari penubuhan ingatan yang dikelola oleh kolonialisme berkerja dengan mencacahnya dan mengkomposisinya kembali melalui teknik-teknik reproduksi. Dari alur kelola tersebut, semisal memperlihatkan satu kepingan dari suatu moving image atau menjelaskan cara sebuah gambar dapat menjadi serupa dengan kenyataan, mensejajarkan pengetahuan seniman sebagai perekayasa-artistik terhadap publik dengan pengetahuan personalnya. Takusno menerapkan strategi melihat tersebut sembari mengulangi pakem-pakem visual kolonial yang ia reproduksi sebagai stimulan berpikir tentang logikanya, alih-alih tentang kebenaran faktanya. Praktik artistik Takusno tidak berada pada ranah ontologis yang meributkan kehakikian suatu benda melainkan pada epistemik, dengan mengurai sifat pengetahuan tersebut dibangun.
Hubungan antara gerakan dan diam relevan ketika kembali menimbang pameran sebagai sebuah film dokumenter. Penonton sebagai ‘perangkat rekam’ memindai materi pamer untuk membangun film di kepala mereka. Materi pamer berangkat dari reproduksi artistik Takusno dari ‘pemindaian plus aksesnya’ terhadap basis pengetahuan arsip kolonial di Eropa. Takusno berdiri sebagai median yang meretas akses ke dalam namun tidak memindahkan arsip ke Yogyakarta dalam pemahaman repatriasi. Yang ia pindahkan adalah sensasi kegamangan dari menatap sesuatu yang tidak ada dalam ingatan namun seolah menjadi perspektif kebenaran dari sejarah. Ketika suatu gambar gerak dipresentasikan, maka ia menjadi interupsi dari keleluasaan alat rekam dan mengatur kembali tubuh (dan persepsi) penonton pada durasi kenyataan ‘Fever Dream’. Di sini lah, sesuatu yang simultan mengacaukan independensi film para pasca-kolonial.

Persepsi Visual Simultan
Dalam mencoba memilah apa sinema dan apa video, kita bisa mulai dengan bagaimana sinema memiliki kultur yang membangun dramatik dari montase. Walaupun bisa jadi ia non-naratif, tetap saja linearitas dari durasi menubuh dalam sinema. Video, dalam konteks ini Video Art, muncul dari tradisi seni rupa yang dapat dialami sesuai perhatian yang diberikan oleh penonton. Keleluasaan untuk menonton dan tidak menonton menjadi bagian dari pancaran melihat instalasi video. Pada konteks pameran Fever Dream, instalasi tiga channel bertajuk ‘Fever Dream’ menutup film dokumenter Takusno dan semacam mencerabut otonomi spectatorship kamera.
Pintu masuk ruangan tempat instalasi ‘Fever Dream’ yang tertutup diapit oleh teks kuratorial dan dua karya triptych. Kedua karya ini, Wildfire (2019) dan Scent Before Rain (2019) dikerjakan bukan sebagai narasi tiga babak atau bentangan horizon dari lukisan, melainkan sebuah perpotongan tidak rapi dari citra. Wildfire mengambil perspektif di bawah kepala, menunjukkan seekor harimau yang tubuhnya terpisah dari di dua bingkai. Pada Scent Before Rain terdapat tiga kejadian yang simultan sekaligus sekuensial. Satu bingkai menunjukkan tangan-tangan menggenggam kamera, teknologi yang merekayasa citra subjek terkoloni, serta dua kejadian yang jika dibaca kanan ke kiri (tidak resmi) mengisyaratkan seorang subjek (bisa jadi kolonial) ‘dibuka’ dari kain yang menutupinya. Dua karya ini melandasi bingkai pemikiran melihat triptych yang coba Takusno bangun sebelum memasuki ruangan dengan tiga bingkai/layar serupa. Bahwa Triptych Takusno tidak dirangkai sebagai pembabakan naratif, melainkan sebuah efek perpotongan dari bingkai.
Kembali ke premis dikotomi film dan video, pameran Fever Dream menjustifikasi karya gambar geraknya sebagai bagian dari film dengan kesadaran pembabakan dramatik terjadi sepanjang durasi perjalanan pameran. Setiap karya memiliki potongan shot yang menawar satu konsep atau kebiasaan melihat visual-visual dalam materi bidikan Takusno di museum (melalui reproduksi hyper resemblance). Karya video ‘Fever Dream’ bisa jadi sinematik dalam pemahaman ia menjadi bagian dari sebuah film yang lebih besar. Ketika memasuki ruang terakhir ini, pembagian layar dilakukan secara asimetris. Dua layar diposisikan bersebelahan sementara yang satunya berada di sisi seberangnya. Bangku menonton diletakkan pada perpotongan arah menghadap ketiga layar. Secara ketubuhan, terdapat kemustahilan bagi spectator untuk mempersepsi visual secara simultan. Di sisi lain, audio dari masing-masing visual menjadi bertumpuk dan menciptakan satu medan auditif yang memaksa putusan melihat ke satu (atau dua layar) selalu dihantui oleh suara-suara dari citra yang tidak-terbidik.
Di satu sisi, sebagai karya tunggal, kita bisa membaca instalasi Fever Dream sebagai bagian dari kultur expanded cinema. Namun sebagai bagian dari tradisi seni rupa yang kemudian dirancang secara filmis, keberadaan instalasi ‘Fever Dream’ hadir untuk merampas keleluasan untuk mengkonstruksi narasi sendiri dari menonton pameran. Tentu kita masih bisa keluar masuk ruangan dan tidak mengalami keseluruhan durasi video secara utuh. Pada saat yang sama, ketika penonton mendedikasikan tenaga mentalnya untuk memikirkan instalasi Fever Dream secara utuh, akan selalu ada benturan persepsi terancang. Citra tunggal, selalu diganggu oleh citra satunya, dan diganggu oleh audio yang terus-menerus. Totalitas dari pengalaman inderawi menjadi akses lebih daripada tiga layar mustahil dipandang ini. Secara mental, tentu terdapat upaya membaca ‘keping-keping’ adegan film yang muncul sepanjang pameran, citra di luar ruangan menjadi menubuh dan terpanggil ketika distimulasi oleh sesuatu yang parsial.
Pada adegan terakhir dari ‘film dokumenter’ Fever Dream, Takusno melakukan sesuatu yang mustahil terjadi pada film konvensional yang ditayangkan dalam kultur sinema. Montase yang ia bangun dalam konteks pembabakan kini dibangun dengan montase tiga channel yang dibangun di atas ingatan-ingatan tentang materi pamer. Ketidakmampuan untuk merujuk secara spesifik apa yang dipersepsi daripada pengalaman bertemu citra menjadi lapisan-lapisan frustasi dari upaya mengingat kembali. Lagi-lagi bukan pada materialitas (atau bahkan dalam konteks ini cahaya sebagai sesuatu yang immaterial), upaya peretasan Takusno terhadap situasi poskolonial melainkan pada partisi-partisi yang dibentuk pada hari ini. Takusno, pada karya terakhir ini mengungkap satu ketidakmampuan untuk mendefinisikan pengalaman menjadi terjajah, dari arsip yang berserakan, tercampur baur, sesuatu yang kita curigai sebagai A.I., dan sesuatu yang tidak bisa dipersepsi secara utuh sebagai konsekuensi menjadi penonton yang telah direkayasa kolonialisme.
Footnote
- Benjamin melalui Illumination (2015) menjelaskan konsep epic teater yang berasal dari Bretch sebagai teoritisasi praktik puitik, mengindikasi diatas segalanya bahwa teater menghasrati penonton untuk bersantai dan mengikuti aksi tanpa tekanan. Penonton ini, pastinya, selalu tampil sebagai kolektif, dan dibedakan dari pembaca, yang tersendiri dengan teksnya. Pula, penonton ini, sebagai kolektif, biasanya terdorong untuk segera bereaksi. ↩︎
- Lihat Emancipated Spectator (2023) Artforum ↩︎
- Lihat Tanke What is Aesthetic Regime ↩︎
- Versi lebih panjangnya di Katalog Fever Dream (2024) ↩︎
- Lihat https://www.insideindonesia.org/editions/edition-155-jan-mar-2024/working-with-colonial-objects-in-the-rijksmuseum ↩︎
- Lihat https://leiden.wereldmuseum.nl/en/about-volkenkunde/press/press-releases/colonial-collections-be-returned-indonesia-and-sri-lanka ↩︎
- Murawska-Muthesius dan Piotrowski (2017) menerangkan bahwa museum telah dituding sebagai alat imperialism dan kolonialisme, benteng-kokoh patriarkalisme, maskulinisme, xenofobia, dan homofobia. Dalam penelitian mereka mengenai museum nasional di polandia mereka menawar kemungkinan pemberdayaan Koleksi, otoritas kebudayaan serta ruang auratis serta sumber dayanya untuk memberi suara pada yang tidak berprivilese dan mengambil sikap pada isu kontemporer. Murawska-Muthesius dan Piotrowski melingkupinya pada aktivitas di ruang publik, kritik diri dan perubahan geografi artistik ↩︎
- Lihat https://www.ind45-50.org/en/node/152 ↩︎
- Lihat PARTISAN teks-teks dalam Otty Widasari ↩︎
Daftar Pustaka
Benjamin, W. (2015). “Illuminations”. London: Bodley Head
Murawska-Muthesius, K., & Piotrowski, P. (2015).” From Museum Critique to the Critical Museum (1st ed.)”. New York: Routledge
Mika, I.G. (202) “Pemetaan Citra-Citra, Filem Sebagai Peta dan Pemetaan” dalam PARTISAN: Teks-teks pada Otty Widasari. Jakarta: Forum Lenteng
Swastika, A. (2024). “Fever Dream: Recalling Embodied Past” dalam “Fever Dream A Solo Exhibition by Timoteus Anggawan Kusno”. Yogyakarta: Srisasanti Syndicate
Tanke, J. (2011). “What is Aesthetic Regime?” Parrhesia 12
Daring
Ministry of Education, Culture & Science (2023, 6 Juli). Colonial Collections be Returned Indonesia and Sri Lanka. [Press Release]. https://leiden.wereldmuseum.nl/en/about-volkenkunde/press/press-releases/colonial-collections-be-returned-indonesia-and-sri-lanka
NIOD. (unknown). Independence, decolonization, violence and war in Indonesia, 1945-1950. https://www.ind45-50.org/en/node/152
Ranciere, J. (2023, 23 September). “The Emancipated Spectator.” Artforum. https://www.artforum.com/features/the-emancipated-spectator-175248/
Kusno, T.A. (2024, 25 Maret). Working with colonial objects in the Rijksmuseum. Inside Indonesia. https://www.insideindonesia.org/editions/edition-155-jan-mar-2024/working-with-colonial-objects-in-the-rijksmuseum
Rafael Marius adalah mahasiswa Tata Kelola Seni Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Editor: Arham Rahman, Jurnal 56
Foto sampul dan koleksi foto: Rafael Marius