Kreativitas Reproduksi Mekanis dalam Pameran Arsip Mgr. Soegijapranata SJ

Ketika seni bertemu dengan sejarah, terciptalah pengalaman yang tak terlupakan. Inilah yang ditawarkan dalam Pameran Arsip Fotografis Mgr. Albertus Soegijapranata SJ di Ruang MES 56 Yogyakarta pada akhir tahun 2024. Pameran ini merupakan proyek kolaborasi Ruang MES 56 dan Program Doktor Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma melalui payung program reForward yang tergabung dalam rangkaian acara Jogja Fotografis Festival (JOFFIS) 2024.

Hadir dengan judul “Dalam Hal-hal yang Belum Pasti: Kebebasan, Dalam Hal-hal yang Gawat: Persatuan, Dalam Segala Hal: Cinta Kasih” pameran ini menjadi cara untuk mengenang dan merefleksikan peran seorang tokoh bangsa yang berpengaruh besar terhadap sejarah kemerdekaan Indonesia melalui perpaduan karya seni dan teknologi. Tidak hanya sekadar menampilkan foto-foto lama, tapi juga mengubah arsip sejarah menjadi pengalaman visual dan emosional yang menggugah hati.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ adalah uskup pribumi pertama di Indonesia yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan dan persatuan bangsa Dalam pameran ini, arsip-arsip tentang Soegijapranata dihadirkan dengan cara yang sangat kreatif.

Tidak hanya berupa foto-foto sederhana saja, melainkan arsip tersebut diproses dengan berbagai teknik dan bahan, seperti kertas watercolor, seng, kain blacu, hingga neon box. Hasilnya? Sebuah perpaduan seni dan sejarah yang menggugah.

Apa yang membuat pameran ini istimewa?

Pameran Arsip Fotografis Mgr. Albertus Soegijapranata SJ di galeri Ruang MES 56 (dok. Fransisco Edwardo Kamisopa)

Bayangkan sebuah foto tua yang dicetak di atas kain blacu atau seng-teknik yang menciptakan efek vintage, membuat Anda seolah-olah sedang menyaksikan fragmen sejarah langsung dari masa lalu.

Kolaborasi antara kurator, peneliti, dan seniman dalam proses pembuatan pameran ini menggunakan teknik khusus, seperti pencelupan kertas dalam larutan teh untuk memberikan kesan arsip yang benar-benar tua. Bahkan, suara tembang macapat karya Soegijapranata diputar melalui radio tua menghadirkan nuansa nostalgia yang mendalam.

Arsip-arsip yang ditampilkan bukanlah arsip asli, melainkan reproduksi yang diambil dari sumber sekunder seperti buku atau arsip digital. Kurator pameran, Arham Rahman, menjelaskan bahwa pendekatan ini bertujuan untuk menghadirkan arsip yang tidak hanya sebagai dokumen sejarah, tetapi juga sebagai karya seni yang hidup.

Dengan teknik reproduksi yang beragam, arsip-arsip ini “dibangkitkan kembali” agar bisa dinikmati oleh generasi masa kini.

Adapun teori yang menjadi dasar pameran ini adalah gagasan dari Walter Benjamin tentang reproduksi mekanis yang dibahas dalam esai The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility. Benjamin menjelaskan bahwa reproduksi karya seni melalui teknologi modern, seperti fotografi, menghilangkan “aura” atau keaslian yang melekat pada karya seni asli. Aura ini berkaitan dengan pengalaman unik yang hanya bisa dirasakan ketika seseorang berhadapan langsung dengan karya seni autentik.

Namun, Benjamin juga menyoroti sisi positif dari reproduksi mekanis: karya seni menjadi lebih mudah diakses oleh banyak orang.

Interaksi pengunjung dengan salah satu karya reproduksi arsip (dok. Anggara Dayinta Rosmawanto)

Dalam konteks pameran arsip Soegijapranata, arsip-arsip fotografi yang ditampilkan adalah hasil reproduksi dari sumber kedua dan ketiga. Meskipun reproduksi terkesan menghilangkan aura arsip, tetapi pameran ini berhasil menghadirkan pengalaman visual yang baru dengan mengaburkan batas antara karya seni yang “asli” dan reproduksi.

Salah satu daya tarik pameran ini adalah kemampuannya membuat pengunjung merenungkan cara kita berinteraksi dengan sejarah. Apakah sejarah hanya tentang fakta atau dapatkah ia menjadi pengalaman yang melibatkan indra, emosi, dan imajinasi?

Pameran ini mengajak kita melihat arsip fotografi bukan hanya sebagai dokumen, tetapi sebagai medium seni yang hidup dan relevan.

Pameran ini juga menunjukkan bagaimana tantangan dalam mengolah arsip dapat diatasi dengan kreativitas. Banyak artefak arsip yang digunakan dalam pameran ini tidak sempurna-beberapa buram, pudar, atau kekurangan konteks. Namun, kekurangan tersebut justru diolah menjadi bagian dari karya seni.

Reproduksi arsip sejarah (dok. Anggara Dayinta Rosmawanto)

Pendekatan ini menambah kedalaman narasi, menjadikan pameran ini lebih dari sekadar dokumentasi sejarah, tetapi sebuah perjalanan inderawi ke masa lalu.

Secara keseluruhan, Pameran Arsip Fotografis Mgr. Albertus Soegijapranata SJ di Ruang MES 56 menunjukkan bagaimana kreativitas dalam reproduksi mekanis dapat menghidupkan kembali sejarah dan menjadikannya relevan bagi generasi masa kini.

Dengan memadukan seni, teknologi, dan berbagai teknik reproduksi, pameran ini mengubah arsip-arsip fotografi menjadi karya seni yang tidak hanya menceritakan masa lalu tetapi juga memberikan pengalaman visual dan emosional yang mendalam sehingga dapat menemukan makna visual yang disampaikan melalui ragam teknik reproduksi.

Sumber:

Benjamin, W. (2008). The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility, and Other Writings On Media. (M. W. Jennings, B. Doherty, T. Y. Levin, Eds., E. Jephcott, R. Livingstone, H. Eiland, & Others, Trans.) Inggris: Harvard University Press.

Rahman, A. (2025, 2 Januari). Kurator Pameran. (A. D. R., Interviewer)

Anggara Dayinta Rosmawanto adalah mahasiswi Institut Seni Indonesia Surakarta.

Editor: Jurnal 56
Foto sampul dan koleksi foto: Fransisco Edwardo Kamisopa